Rabu 09 Dec 2020 20:07 WIB

Pemajuan Demokrasi dan HAM Indonesia Dinilai Memburuk

Kehidupan HAM dan penegakkan demokrasi Indonesia semakin memburuk.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Muhammad Subarkah
Anggota Front Pembela Islam (FPI) mengadakan unjuk rasa untuk memprotes penembakan anggota mereka oleh polisi di Banda Aceh, Indonesia, 08 Desember 2020. Enam tersangka pendukung ulama Indonesia Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam , ditembak dan dibunuh dalam bentrokan dengan petugas polisi pada 07 Desember. 2020.
Foto:

Usman Hamid juga menyoroti kemunduran demokrasi dan pemajuan HAM kini lantaran terbukanya panggung penguatan aktor keamanan dari Polri maupun TNI. Bahkan BIN.

Pemerintah, Usman nilai mendapatkan benefit, dari keberpihakan aktor-aktor utama keamanan tersebut untuk terlibat dalam krisis komunikasi antara masyarakat dengan penguasa terkait situasi sosial, hukum dan politik.

Bahkan aktor-aktor keamanan tersebut, terlibat sebagai perpanjangan tangan penguasa dalam menangkis kritis publik terhadap penguasa.

“BIN misalnya, kita tahu digunakan untuk afiliasinya dengan partai PDI Megawati. Kepolisian, juga kita lihat bagaimana aktifnya dalam memberikan dukungan kepada pemerintah. Dan TNI mengalami fenomena baru saat ini, ikut terlibat dalam masalah-masalah sipil, seperti penurunan baliho, dan penyidikan kepolisian terkait FPI,” terang Usman.

Menurut Usman, satu-satu kondisi demokrasi dan yang masih relatif dapat diandalkan, yakni hak warga negara ikut dalam partisipasi pemilihan.

Peneliti LP3ES Lya Anggraini dalam diskusi tersebut menjabarkan, Indonesia saat ini memang menjadi sorotan lembaga-lembaga pemerhati internasional, sebagai salah satu negara dengan tingkat kemorosotan terburuk dalam pemajuan demokrasi dan HAM.

Indonesia, pun mengalami degradasi dari daftar negara-negara demokrasi dan HAM. Lya mengacu pada Global Peace Index 2020 Vision of Humanity dari Institute for Economic and Peace yang meletakkan Indonesia sebagai negara yang merosot. “Indonesia turun enam angka pada rangking 49, dari 83 (negara),” begitu kata Lya.

Herlambang Wiratman, dari Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Airlangga, pun mengatakan serupa. Ia mengkritik pemerintahan dan aktor keamanan saat ini, yang tak lagi memberikan kebebasan dan otonomi bagi akademisi, dan kampus untuk menyampaikan kritik, maupun pendapat terkait politik, maupun situasi sosial.

Herlambang juga mencatat, banyaknya sejumlah kasus yang terjadi di lingkungan akademisi, yang berujung pada pemidanaan lantaran hanya memberikan pendapat, maupun kritik, ataupun ekspresi terkait situasi nasional. 

Pengalaman tersebut, kata Herlambang termasuk sejumlah kasus pembreidelan beberapa pers mahasiswa. Bahkan, kata dia, ada kasus pengungkapan dugaan korupsi yang dilakukan mahasiswa, namun mendapat reaksi skorsing, dan ancaman pidana.

Herlambang kemudian mengacu pada jurnal internasional, yang menyebutkan adanya situasi yang semakin suram dalam pemerintahan Jokowi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini lantaran adanya pemanfaatan militer dan satuan keamanan, pun praktik intelijen dalam setiap kebijakan politik saat ini.

Herlambang mengambil kesimpulan tersebut, dengan mengacu pada jurnal  Greg Fealy (Jokowi in tech Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbaering State) yang mengatakan, Jokowi sengaja ataupun tidak sengaja memainkan militer, dan intelijen menjadi promotor dalam memperbesar dalam keterlibatan militern dan intelijen dalam ruang-ruang sipil.

"Dan yang memiliterkan politik untuk menekan masyarakat. Ini sebagai penanda bahwa sitauasi (demokrasi dan HAM Indonesia) akan semakin memburuk,” tegas Herlambang.

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement