Sabtu 19 Dec 2020 09:10 WIB

Azan di Paris Antar Mualaf Eropa Berangkat Haji

Sekularisme di Negeri Menara Eifel tak berarti menutup hidayah bagi pencari Tuhan

suasana Makkah di masa puncak musim haji tempo dulu
Foto: saudigazette.com
suasana Makkah di masa puncak musim haji tempo dulu

IHRAM.CO.ID, Jabal Rahmah, sebuah bukit di Padang Arafah yang menjadi saksi pertemuan Adam dan Hawa kembali mempertemukan dua anak manusia. Pada 9 Dzulhijah 1366 Hijriyah atau 1947 Masehi, seorang kiai asal Jawa, Abdus salam, bertemu dengan seorang Eropa yang baru berganti nama. Sesudah bersalaman, dia memperkenalkan diri sebagai Abdusyukur."Saya mualaf. Baru lima bulan menganut agama Islam," kata Abdu syukur seperti ditulis kan Abdussalam di dalam buku Naik Haji di Masa Silam 1482-1964 karya Henri Cham bert Loir.

Abdusyukur berkisah, sudah lama dia berkelana mencari Tuhan. Dia mendalami berbagai agama yang tak juga memuaskan hatinya. "Enam bulan berselang, saya tengah berjalan-jalan di Kota Paris yang permai itu. Terdengar oleh saya azan di menara masjid di kota itu. Bagaikan ada perintah halus ke dalam hati saya untuk menjadi orang Islam. Saya jumpai imam masjid itu. Di tangannyalah saya menjadi umat Islam. Sekarang ini, saudara." katanya sambil menangis tersedu-sedu.

Pada awal abad ke-19, Islam bukan hal baru di Eropa, termasuk Prancis. Setelah Perang Dunia I, sebuah masjid raya didirikan di Paris sebagai rasa terima kasih ke pada tirailleurs Muslim, sebutan bagi pasukan infrantri Prancis pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa. Mereka direkrut dari wilayah-wilayah jajahan Prancis, salah satunya Al jazair. Negeri nenek moyang pelatih Real Madrid dan bekas pemain sepak bola terbaik dunia, Zinedine Zidane. Lewat masjid, pemerintah hendak memberi penghargaan kepada para 100 ribu tirailleurs yang tewas saat bertempur melawan Jerman.

Pada 1944, tercatat ada 550 ribu tentara Afrika-Prancis. Banyak di antara mereka direkrut, baik terpaksa maupun sukarela, dari koloni-koloni Prancis. Dari jumlah itu, sebanyak 134 ribu dari Aljazair, 73 ribu dari Maroko, 26 ribu asal Tunisia, dan 92 ribu dari koloni lain di Afrika. Selain bertempur pada Perang Dunia 1, tentara multiras itu diterjunkan dalam pertempuran di Italia pada 1943 untuk mengusir Jerman dari Monte Cassino.

Masjid itu berdiri pada 1926. Mengikuti gaya Mudejar yang mewarisi arsitektur Andalusia, masjid ini memiliki sebuah menara setinggi 33 meter. Selama Perang Dunia II, saat Prancis dicaplok Nazi, Jerman, Imam Masjid Si Kaddour Benghabrit pernah menjadikan masjid itu untuk melindungi pengungsi Aljazair dan Yahudi Eropa. Benghabrit menjamin akan menyediakan kamar perjalanan yang aman hing ga sertifikat kelahiran Muslim palsu untuk melindungi mereka dari eksekusi Jerman.

Meski demikian, Prancis tetaplah Prancis. Negara yang trauma dengan ada nya kekuasaan di tangan kaum borjouis dan pemuka agama. Revo lusi Prancis pada 1789 menghancur kan dominasi Gereja Katolik. Hingga sekarang, Prancis mem beri contoh kepada banyak negara demo krasi di Eropa tentang praktik pemisahan kekuasaan antar agama dan negara alias sekularisme.

Hanya, sekularisme di Negeri Menara Eifel tak berarti menutup hidayah bagi pencari Tuhan, seperti Abdusyukur. Seperti dikisahkan oleh Abdussalam, Abdusyukur malah memeluk Islam usai mendengar lantunan azan di Paris. Hingga, mualaf itu pun berkesempatan untuk menunaikan rukun Islam kelima untuk berangkat haji.

Saat menjalankan wukuf di Arafah, Abdusyukur melihat ratusan ribu Muslim dibalut pakaian putih. Suara-suara zikir manusia bergema dari bukit tandus itu. Mereka menengadahkan tangan untuk menjadi sebenar-benarnya hamba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement