IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 melanda hampir setiap negara tidak terkecuali Indonesia dan Arab Saudi yang memiliki kepentingan dalam perhajian. Indonesia menjadi negara dengan pengirim jamaah terbesar sedangkan Saudi adalah pelayan dua Tanah Suci/Haramain.
Terjadi maju mundur dalam memutuskan kebijakan penyelenggaraan haji di dua negara. Saudi menimbang-nimbang cara bagaimana haji bisa dilaksanakan pada tahun 1441 Hijriyah/2020 Masehi. Sementara Indonesia berharap agar ada penyelenggaraan haji sehingga tidak terjadi antrean yang semakin mengular untuk berhaji.
Sebuah fakta pada pertengahan 2020, haji tetap diselenggarakan secara terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan menghindari transmisi Covid-19 menyebar baik bagi jamaah ataupun masyarakat lokal. Sebuah dimensi berhaji adalah selalu terkait dengan pergerakan massa yang jumlahnya cenderung jutaan di satu waktu dan tempat.
Di sisi lain, penularan Covid-19 semakin masif jika interaksi sesama manusia terjadi dalam kerumunan yang besar. Secara kaidah fikih, sejumlah unsur seperti dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, tokoh agama dan ahli selalu menekankan "hifdzun nafs" atau penjagaan keselamatan jiwa lebih utama dibandingkan ibadah. Dengan kata lain, jika ada dalam keadaan darurat maka sebaiknya mengutamakan nyawa dibanding beribadah.
Akibat dari prinsip "hifdzun nafs" tersebut membuat ibadah disesuaikan dengan konteks kedaruratan. Sebagai contoh, ada larangan menggunakan masker bagi jamaah ketika melakukan manasik haji. Akan tetapi, mengenakan masker ketika berhaji sebagai upaya menghalangi transmisi Covid-19 menjadi boleh.