IHRAM.CO.ID,SEMARANG -- Perlindungan dan perhatian anak mendesak untuk selama masa pandemi Covid-19. Pasalnya kasus kekerasan seksual terhadap anak cenderung meningkat selama wabah penyakit global tersebut melanda.
Hal ini terungkap dalam Webinar 'Ngobrol Santai Tentang Perlindungan Anak Selama Masa Pandemi Covid-19', yang digelar oleh Yayasan Setara di Semarang, di penghujung tahun 2020, kemarin.
Dalam wbinar ini, salah seorang relawan pekerja sosial untuk anak di Kabupaten Klaten, Ofik Anggraeni mengungkapkan, selama menangani beragam permasalahan anak selama pandemi, jamak menemukan sejumlah kasus yang spesifik.
Salah satunya adalah anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah tirinya, sebagai efek dari PHK dan ketidakberdayaan anak sedang tidak sekolah karena ketentuan kegiatan belajar secara daring.
Di sisi lain, di dalam lingkungan keluarganya juga muncul sebuah pemahaman yang kurang tepat dalam menempatkan peran keluarga sebagai lini depan perlindungan maupun menempatkan anak sebagai obyek perlindungan.
“Rupanya, ada satu kesepakatan dalam keluarga, jika si ayah tiri akan menikah dengan anak tersebut (setelah lulus sekolah) karena ibu kandungnya tidak bisa lagi memberikan keturunan,” jelasnya.
Maka, lanjut Ofik, ketika situasi di rumah yang kurang menguntungkan bagi anak, terjadilah tindakan kekerasan seksual yang dilakukan ayah tiri terhadap anak tersebut hingga akhirnya diketahui telah hamil.
Celakanya, ketika kasus itu diproses hukum, si ibu gadis itu ingin suaminya tidak dipenjara. Setidaknya ada dua kasus serupa di Klaten dan pelakunya sama, ayah tiri yang terjadi pada bulan September hingga Oktober 2020.
“Sehingga, atas temuan tersebut, beberapa kasus yang menimpa anak tersebut membutuhkan penanganan khusus agar anak tetap terlindungi,” tambahnya.
Persoalan anak --pada perspektif yang berbeda—diungkap oleh Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Cilacap, Rizky Rahayu Setyawan, dalam kesempatan webinar kali ini.
Menurutnya, perlindungan serta perhatian tidak hanya menjadi hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual saja, namun juga terhadap anak yang sedang berhadapan dengan persoalan hukum.
Menurutnya, dalam mendampingi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, ia jamak berada di lapangan yang langsung bersentuhan dengan anak dengan segala permasalahnya, termasuk keluarganya.
Sementara --di dalam pengadilan-- jaksa dan pengacara hanya melakukan studi berkas. “Maka, kami juga berupaya membantu anak- anak yang sebenarnya bisa diselamatkan tersebut,” ungapnya.
Anak, jelas Rizky, terjerumus melakukan tindakan melawan hukum umumnya karena persoalan perlindungan dan perhatian. Hingga dalam proses pengadilan, banyak yang merasa bersalah dan mengambil hikmahnya sebagai pelajaran.
Akan tetapi, anak- anak yang ‘terjerumus’ itu juga perlu mendapat perlindungan agar mereka bisa tumbuh kembali menjadi lebih baik. “Oleh karena itu perlindungan dan perhatian terhadap anak perlu lebih ditingkatkan,” tambahnya.
Sementara itu, Manajer Program Yayasan Setara, Yuli Sulistyanto menuturkan anak- anak rentan menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini.
Menurutnya, anak bakal terkena dampak yang luar biasa, perlindungan kepaa mereka tidak ditingkatkan. Dalam konteks risiko terpapar, upaya pencegahan lewat disiplin protokol kesehatan maupun eduksi, menjadi perlindungan efektif agar anak- anak tetap sehat.
“Yayasan Setara dibantu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah –baik melalui Bappeda, Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan maupun Dinas Sosial—selalu mengawal program- program yang kami jalankan,” jelasnya.
Belajar dari sembilan bulan sejak pandemi Covid-19 melanda, semua anak- anak di dalam keluarga dan masyarakat harus punya dukungan psikososial dan perlindungan anak. “Selama pandemi Yayasan Setara berusaha memperkuat keterampilan mereka,” jelas Yuli.
Sementara UNICEF Indonesia Child Protection Specialist, Naning Puji Julianingsih menyampaikan, pandemi Covid-19 ini tidak ada resepnya untuk kita harus melakukan apa, kecuali disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Namun pengalaman selama sembilan bulan telah menjadikan anak menjadi manusia survivor (penyintas) yang luar biasa. “Kendati begitu, perlindungan dan perhatian pada anak jangan sampai abai,” tegasnya.