IHRAM.CO.ID, JEDDAH -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengecam keras penahanan seorang aktivis dan pemimpin politik Kashmir, Asiya Andrabi, serta dua rekan perempuannya di penjara India.
Dua organisasi itu mengatakan tuduhan yang diberikan, berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Aktivitas Melanggar Hukum (UAPA) India yang kontroversial, terkesan dibuat-buat dan tidak berdasar.
Dilansir di Arab News, Rabu (6/1), menurut laporan media lokal Andrabi dan rekan-rekannya, seperti tahanan politik lainnya di Jammu dan Kashmir, ditahan tanpa akses ke pengadilan yang bebas dan adil.
Selama berada ditahanan, mereka juga menjadi sasaran penyiksaan fisik dan psikologis. Tak hanya itu, akses untuk perawatan kritis medis ditolak, yang berujung membahayakan nyawa karena melanggar HAM internasional dan hukum humaniter.
Andrabi merupakan pendiri salah satu organisasi hak perempuan paling berpengaruh di Jammu dan Kashmir. Dia dihormati secara luas sebagai sebuah suara yang telah memberikan banyak kontribusi terhadap pemberdayaan perempuan.
Meski usianya semakin lanjut, ditambah kondisi kesehatan yang memburuk dan ancaman virus Covid-19, Andrabi tetap ditahan atas tuduhan palsu. IPHRC lantas mengatakan situasinya kini sangat memprihatinkan.
Komisi tersebut menegaskan kembali keprihatinannya atas meningkatnya insiden penahanan ilegal terhadap aktivis hak asasi manusia dan politik, anggota masyarakat sipil, serta media, yang dilakukan oleh pasukan keamanan India.
Mereka mengatakan, undang-undang yang kejam, seperti Undang-Undang Kekuatan Pasukan Khusus Bersenjata (AFSPA), Undang-Undang Keselamatan Publik (PSA) dan UAPA menjadi dasar dari banyak penahanan.
Dalam sebuah laporan pada Maret 2017 tentang situasi HAM di Jammu dan Kashmir, IPHRC mengatakan undang-undang tersebut adalah sumber impunitas yang digunakan oleh pasukan keamanan India, untuk melakukan pelanggaran HAM yang terang-terangan terhadap warga Kashmir. Warga merupakan pihak yang tidak bersalah, namun suara mereka dibungkam dan hak untuk membela diri sendiri dicabut.
IPHRC mendesak PBB, negara-negara anggota OKI dan komunitas hak asasi manusia internasional untuk menuntut pembebasan segera Andrabi serta rekan-rekannya. Semua tahanan politik yang ditahan di bawah undang-undang AFSPA, PSA dan UAPA juga diminta untuk dilepaskan.
Badan HAM itu juga menyerukan kepada para aktivis untuk diberikan pengadilan yang bebas dan adil, pencabutan semua undang-undang diskriminatif dan pemulihan kebebasan mendasar bagi warga Kashmir.
Ia juga menekankan perlunya misi pencari fakta oleh PBB maupun OKI dan bekerja sama dengan India dalam pembentukan penyelidikan di bawah naungan PBB. Komisi tersebut meminta pemerintah India untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan sistematis.
IPHRC lantas menyerukan resolusi Dewan Keamanan PBB dan OKI untuk mengizinkan warga Kashmir menentukan hak dan nasib mereka sendiri.