IHRAM.CO.ID, Widyawati, 36 tahun, mengernyitkan dahi saat ditanya pengalamannya sebagai nasabah bank syariah.
Sudah 10 tahun belakangan ini dia menggunakan layanan perbankan syariah, setelah kantornya membayar gaji lewat salah satu bank milik pemerintah.
Menurut dia banyak pengalaman “tidak enak” meski ada hal-hal yang cukup membantu dia melakukan transaksi keuangan.
Masalah paling sering dia alami adalah saat gajian, aplikasi mobile banking di telepon genggamnya sering mengalami gangguan.
Kadang-kadang tidak bisa mengirimkan uang atau membayar tagihan, ujar dia.
Dia sudah sering mengadukan masalah ini pada bagian keuangan kantornya, tapi sejauh ini belum ada perbaikan.
Alasan yang sering dia dengar adalah karena saat tanggal muda itulah puncak pemakaian, sementara kapasitas mobile banking yang dimiliki bank tidak cukup untuk melayani seluruh pengguna dalam waktu bersamaan.
“Jaringan ATM-nya juga jarang. Susah sekali saya menemukan mesin ATM bank saya ini,” ujar dia seperti dilansir dari kantor berita Turki, Anadolu Agency,
Sebagai nasabah, dia juga ingin mendapatkan kemudahan berbelanja di super market yang biasanya disediakan oleh bank konvensional, misalnya diskon bagi pemegang baik kartu debit maupun debit.
Sayangnya fasilitas promosi semacam itu tidak pernah dia dapatkan.
Pengalaman paling tidak enak adalah saat dia antre berjam-jam di salah satu kantor cabang bank, padahal saat itu dia sedang hamil tua.
Di kantor cabang itu, hanya ada dua meja customer service, tapi hanya satu yang beroperasi. Petugas lain, kata dia sedang sakit dan tidak ada penggantinya.
“Saya akhirnya pulang karena tidak tahan. Kalau ada pegawai yang berhalangan seharusnya diganti dong, biar pelayanannya tetap lancar,” ujar dia.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Nurmasari, seorang pekerja kantoran yang juga nasabah bank syariah milik pemerintah.
Dia juga pernah berjam-jam menunggu layanan di kantor cabang bank syariah. Selain itu dia juga kerap menghadapi persoalan ATM dan aplikasi mobile banking yang sering terganggu.
Dia juga heran mengapa bank yang dia gunakan tidak mengeluarkan uang elektronik, padahal fasilitas tersebut sangat dibutuhkan terutama karena transaksi non tunai sedang digencarkan pemerintah.
Saat mendengar kabar merger tiga bank syariah milik pemerintah, dia mempunyai harapan besar agar pelayanan pada nasabah di bank baru nanti bisa lebih optimal.
Dia menekankan agar pelayanan nasabah di kantor bank-bank ini diperbaiki. Selain itu, dalam bidang teknologi juga tidak boleh ketinggalan dengan bank-bank konvensional yang menurutnya “sudah lebih canggih.”
“Bank lain sudah bisa mengisi uang elektronik lewah telepon genggam. Masa sih bank syariah malah tidak punya uang elektronik,” ujar dia.
Sebelumnya pada Senin 1 Februari lalu, Presiden Joko Widodo meluncurkan Bank Syariah Indonesia (BSI), hasil merger tiga bank syariah milik pemerintah yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah.
Penggabungan ini membuat BSI menjadi bank syariah dengan aset terbesar di Indonesia, sebesar Rp240 triliun dengan modal inti lebih dari Rp22,6 triliun.
Total Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp210 triliun, serta total pembiayaan Rp157 triliun.
Dari sisi jaringan, BSI didukung oleh lebih dari 1.241 kantor cabang, sekitar 2.447 jaringan ATM, dan lebih dari 20.000 karyawan.
Peningkatan kapasitas dan investasi teknologi informasi
Ibrahim Assuaibi, seorang pelaku industri keuangan, mengatakan sangat penting bagi BSI untuk melakukan reorganisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan investasi pada bidang teknologi informasi.
Kedua bidang ini menurut dia penting untuk meningkatkan performa pelayanan nasabah, baik secara online maupun offline.
Keluhan soal pelayanan dan kapasitas teknologi seperti dirasakan Widyawati dan Nurmasari adalah fakta yang harus segera diperbaiki.
“Jika BSI sudah diluncurkan, tapi SDM dan teknologi tidak mendukung akan sia-sia,” ujar Ibrahim pada Anadolu Agency.
“IT yang harus dikejar, paling tidak mengikuti teknologi BCA (Bank Central Asia), agar masyarakat berpindah ke BSI,” tambah dia.