IHRAM.CO.ID, KOLOMBO -- Larangan mengenakan burqa dan penutupan ratusan sekolah Islam di Sri Lanka telah dikecam dan disebut sebagai rasisme.
Meski begitu Pemerintah Sri Lanka bersikeras bahwa larangan burqa dan penutupan sekolah Islam merupakan upaya untuk melindungi negara dari ekstremisme agama.
Pejabat Pemerintah Sri Lanksa juga mengatakan bahwa bukan hanya sekolah Islam, sekolah tidak mengikuti kebijakan pendidikan nasional juga akan ditutup.
Keputusan rasis ini bukan hanya menuai kritik dari masyarakat Muslim, namun warga Sri Lanka secara umum, mengatakan bahwa keputusan itu hanya akan menyebabkan perpecahan.
"Ini adalah agenda rasis. Mereka mencoba meyakinkan umat Buddha bahwa mereka terancam atas (keberadaan) Muslim," kata wakil presiden Dewan Muslim Sri Lanka Hilmy Ahamed.
Sementara itu, Menteri Keamanan Publik Sri Lanka Sarath Weerasekera mengatakan bahwa pemakaian burqa berdampak langsung pada keamanan nasional. Dia juga menyebutnya sebagai tanda "ekstremisme agama".
Upaya pelarangan burqa telah dilakukan sejak dua tahun silam, setelah serangan pengeboman tiga hotel dan tiga gereja yang menewaskan 269 orang. Serangan itu diklaim dilakukan oleh dua kelompok Muslim yang memiliki hubungan dengan ISIS, mereka telah mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Sri Lanka terus berupaya melarang pemakaian burqa, meski menulai beragam reaksi dari publik dan aktivis hak asasi perempuan. Beberapa aktivis mengeluhkan larangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan Muslim dan hak mereka untuk menjalankan agamanya.
"Setelah serangan Minggu Paskah ketika burqa dilarang sementara, para perempuan Muslim yang menutupi wajah atau kepala mereka dengan selendang, dianiaya dan diancam. Jadi perlu ada kesadaran yang tepat sebelum larangan ini dibuat sebagai undang-undang,” kata aktivis hak perempuan.
Sekitar 75% dari 22 juta penduduk negara itu beragama Buddha Sinhala sementara 9% beragama Islam, dan sekitar 15% beragama Hindu.