REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Dari Bodyguard, serial thriller televisi Inggris, hingga drama CIA di Amerika Serikat (AS), penggambaran karakter Muslim di layar lebar seringkali dianggap bermasalah. Laki-laki Muslim dianggap sebagai tokoh pinggiran, yang secara budaya terbelakang terkait dengan kebencian terhadap wanita, kekerasan dan kemarahan. Sedangkan wanita digambarkan sebagai korban yang tertindas dengan sedikit atau tanpa hak pilih.
Bosan dengan stereotip tersebut, sebuah badan amal baru di Inggris didirikan untuk mengubah sterotip ini dalam industri hiburan dan mengakhiri penggunaan umum kiasan anti-Muslim. Diluncurkan minggu lalu, lembaga Film Muslim Inggris berupaya untuk mengintegrasikan pengalaman Muslim ke dalam jantung budaya Inggris melalui film dan televisi.
Badan ini itu akan melatih pembuat cerita baru dengan dana yang disediakan untuk film berlatar belakang Muslim dan kelompok lain yang kurang terwakili. Hal ini juga disebut untuk meningkatkan kehadiran mereka di industri.
Didukung oleh British Film Institute (BFI), badan amal tersebut juga akan menyarankan produksi tentang cara mewakili Muslim dengan lebih baik di bioskop dan menghindari melanggengkan stereotip negatif yang menyinggung
Aktor Inggris Sajid Varda, pendiri dan CEO-nya, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia terinspirasi untuk memulai proyek tersebut setelah menyaksikan bagaimana industri hiburan menggambarkan Muslim setelah 9/11.
“Itu semua tentang iman. Narasinya lebih banyak tentang Muslim, Islam, dan negativitas. Keyakinan hampir digunakan sebagai senjata untuk menciptakan representasi yang keliru, dengan asosiasi negatif,” kata Varda dilansir dari Aljazeera, Selasa (13/4).
Dia berharap dapat membantu membalikkan tren tersebut dan "mendorong pemahaman yang lebih besar" antara Muslim dan komunitas lain
“Media massa memiliki pengaruh besar dalam menginformasikan orang, itulah kekuatan mendongeng,” katanya dan mengaitkan representasi yang keliru tentang Muslim dengan peningkatan Islamofobia.
“Ini adalah alat pendidikan yang sangat kuat, terutama bagi orang-orang yang biasanya tidak berhubungan dengan kelompok minoritas tertentu. Dan karenanya bisa berbahaya jika media mengabadikan kiasan umum seperti Muslim adalah teroris, Muslim laki-laki adalah misoginis, wanita Muslim ditindas dan Islam adalah ancaman bagi Barat,”tambahnya.
Varda bukanlah yang pertama dari dalam industri hiburan yang menyuarakan keprihatinan tentang cara Muslim ditampilkan di layar, atau bahkan tidak ditampilkan sama sekali. Aktor Inggris nominasi Oscar Riz Ahmed memperingatkan selama pidatonya tahun 2017 di Parlemen Inggris bahwa kegagalan historis dan meluas untuk memperjuangkan keberagaman dalam film dan program televisi telah mengasingkan anak muda Muslim Inggris dan minoritas lainnya.
Ahmed, yang menjadi Muslim pertama yang dinominasikan untuk Aktor Terbaik oleh Academy Awards tahun ini untuk penampilannya di Sound of Metal, mengatakan orang-orang akan terus termakan sterotip.
“Orang-orang mencari pesan bahwa mereka termasuk, bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu, bahwa mereka dilihat dan didengar dan meskipun, atau mungkin karena pengalaman mereka, mereka dihargai. Mereka ingin merasa terwakili. Dalam tugas itu, kami telah gagal,”kata Ahmed.
Mengambil inspirasi dari pidato tersebut, penggemar film Shaf Choudry, Isobel Ingham-Barrow dan Sadia Habib mendirikan apa yang disebut “Tes Riz”. Tes ini menguji sejauh mana Islamofobia telah masuk dalam benak orang-orang.