IHRAM.CO.ID, KABUL -- Beberapa hari setelah kehilangan adik perempuannya dalam serangan bom di sekolah mereka di Kabul, Farzanah Asghari berdiri di samping makam sang adik yang berusia 15 tahun itu dan menangis tanpa suara. Sedikitnya 80 orang tewas dan lebih dari 160 lainnya luka-luka dalam serangan di dekat Sekolah Menengah Sayed Ul-Shuhada di ibu kota Afghanistan ketika para siswa mulai bergerak pulang.
Banyak korban yang masih berada dalam kondisi kritis. Namun, para siswa, keluarga, dan guru yang berbicara dengan Thomson Reuters Foundation semuanya menyatakan komitmen mereka terhadap pendidikan di negara itu.
Anak-anak perempuan dilarang bersekolah semasa Afghanistan berada di bawah pemerintahan Taliban, yaitu dari 1996 sampai rezim kelompok itu digulingkan pada tahun 2001. Farzanah, yang menuntut ilmu di sekolah menengah di Kabul barat bersama tiga saudara perempuannya, terperangkap dalam ledakan tersebut. Tetapi, dia termasuk di antara mereka yang bertekad untuk kembali ketika sekolah dibuka kembali setelah liburan Idul Fitri.
"Saya akan pergi ke sekolah lagi. Bahkan jika ada serangan lagi, saya akan tetap pergi ke sekolah. Saya tidak akan putus asa, karena kita tidak boleh takut untuk belajar," kata siswa berusia 18 tahun itu, yang berada di tahun terakhirnya.
Ayah Farzanah, Mohammed Hussain yang berusia 53 tahun, mengatakan dia takut, tetapi tidak akan menyuruh anak-anaknya tetap di rumah, betapa pun sulitnya keputusan itu.
"Saya punya tujuh anak perempuan dan saya ingin mereka semua mendapat pendidikan," katanya dari rumahnya di lereng bukit, sekitar 10 menit berjalan kaki dari sekolah anak-anaknya.
Amerika Serikat dan banyak negara Barat telah menggembar-gemborkan pendidikan bagi anak perempuan sebagai salah satu kunci sukses selama bertahun-tahun kehadiran negara asing di Afghanistan. Tetapi, keamanan memburuk ketika pasukan asing bersiap untuk pergi akhir tahun ini. Keadaan itu menguatkan beberapa kelompok Islam garis keras untuk mengancam kemajuan pendidikan anak perempuan selama bertahun-tahun.
Menurut PBB, secara keseluruhan, tingkat melek huruf di Afghanistan mencapai 43 persen setelah empat dekade perang, tetapi hanya sekitar 30 persen perempuan yang melek huruf.