IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Ibadah haji wajib bagi umat Islam yang telah mampu (istithaah). Pada kondisi tertentu ada pendapat ibadah haji boleh ditangguhkan.
"Ada dalil yang berpendapat bahwa wajib Haji boleh ditangguhkan," kata KH Mohammad Hidayat dalam bukunya Ensiklopedi Haji dan Umrah.
Ayat yang menerangkan wajib haji diturunkan setelah hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Rasulullah SAW sendiri membuka Kota Makkah pada bulan suci Ramadan tahun ke-8 Hijriyah yang selanjutnya, Rasulullah meninggalkan tanah suci Makkah pada bulan Syawal tahun itu juga dan beliau menunjuk Itab bin Uaid sebagai pengganti beliau.
"Para sahabat menunaikan haji pada tahun ke-8 Hijriah atas perintah Rasulullah, sedangkan beliau sedang tinggal di Madinah bersama istri-istri beliau dan sebagian besar sahabat," katanya.
Ketika Rasulullah melakukan penyerangan ke daerah tabuk pada tahun ke-9 Hijriyah dan penyerangan itu selesai sebelum datang musim Haji. Rasulullah SAW mengutus Abu Bakar ra untuk berangkat haji. Akhirnya orang-orang berangkat menunaikan haji bersama Abu Bakar ra pada tahun itu.
"Padahal beliau beserta para istri dan mayoritas sahabat saat itu mampu untuk menaikkan Haji atau tidak sibuk dengan peperangan serta tidak ada kesibukan lainnya," katanya.
Sejarah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mengakhirkan haji dan berhaji beserta para istrinya dan mayoritas sahabat pada tahun ke 10 Hijriah. Hal itu menunjukkan bolehnya menangguhkan pelaksanaan haji.
Setelah Rasulullah menaklukkan Kota Makkah beliau ikut dalam perang Hunain, Rasulullah langsung membagi rampasan perang lalu beliau umroh di bulan dzulqa'dah pada tahun itu juga. Beliau mengambil miqot umroh di Jiranah, padahal antara peristiwa itu dan musim Haji hanya tinggal beberapa hari.
"Seandainya haji itu harus dilaksanakan segera, maka beliau pasti tidak akan pulang meninggalkan Makkah, kecuali setelah selesai melakukan ibadah haji," katanya.
Pada saat haji wada, Rasulullah telah memerintahkan kepada para jamaah haji yang tidak membawa binatang hadyu agar menanggalkan ihram hajinya dan diganti dengan umrah. Para ulama berkomentar, "Peristiwa itu sangat jelas sekali menunjukkan pada bolehnya mengakhirkan ibadah haji walau keadaannya memungkinkan."
Bagi orang yang melaksanakan haji dari tahun sekarang ke tahun berikutnya atau beberapa tahun setelahnya lalu menunaikan ibadah haji yaitu termasuk 'adaa'( menunaikan kewajiban pada waktu yang telah ditentukan). Hal itu berdasarkan kesepakatan umat Islam.
"Seandainya penangguhan haji itu diharamkan, pelaksanaannya disebut qadha bukan adaa," katanya.
Bentuk perintah al-amr yang bersifat umum tanpa disertai batas tertentu, tidak berarti harus dilakukan segera. Hal itu semata-mata untuk mengikuti perinta. Jika perintah itu menuntut harus dilaksanakan segera, perlu dalil lain sebagai penguat keumuman perintah itu.
Pendapat yang mengemukakan bahwa Rasulullah sengaja menangguhkan pelaksanaan haji agar tidak melihat kemungkaran akibat pelaksanaan Haji kaum musyrikin yang melakukan tawaf telanjang menjadi dalil bagi diperbolehkannya menangguhkan pelaksanaan ibadah haji. Seandainya pelaksanaan ibadah haji tidak boleh ditangguhkan tidak mungkin peristiwa itu menjadi penghalang yang dapat menggugurkan wajibnya pelaksanaan Haji pada waktunya.
"Pendapat itu dibantah dengan banyak sahabat yang terlambat naik haji, padahal mereka tidak lebih utama dari seorang sahabat Abu Bakar ra yang diutus Rasulullah untuk membimbing Haji sahabat lainnya," katanya.