IHRAM.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai perlunya masyarakat diberi edukasi mengetahui teknologi informasi. Hal ini untuk memperkecil sisi negatif yang diakibatkan disrupsi informasi yang timbul dari kemajuan teknologi, khususnya melalui platform digital, seperti menyebarnya kabar bohong/hoax, fitnah, atau adu domba.
“Ya, makanya itu kita harus mengedukasi masyarakat supaya masyarakat itu cerdas, tidak menerima semua informasi yang diperoleh. Seperti tadi kita katakan, bahwa informasi ini ada yang positif, ada yang negatif, ada fitnah, ada kabar bohong, ada hoax ada berbagai macam hal. Ada yang destruktif, ada yang konstruktif,” kata Wapres melalui siaran persnya, Ahad (27/6).
Ma'ruf menjelaskan, disrupsi informasi tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga secara global. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya edukasi yang bersifat global untuk meredam terjadinya penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab.
“Oleh karena itu, memang ada upaya-upaya yang sifatnya nasional, regional, bahkan juga global,” kata Wapres.
Ma'ruf pun menilai perlu ada strategi yang betul-betul yang tepat untuk kewaspadaan dan kesiapan menghadapi disrupsi teknologi. Dia pun mengimbau kepada para pihak terkait yang memiliki otoritas dalam mengawasi peredaran informasi agar terus bekerja keras untuk dapat mengantisipasi dampak buruk dari disrupsi informasi dan mengedukasi masyarakat untuk dapat menerima serta mencerna informasi dengan baik.
“Maka itu kita ingin supaya Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), kemudian juga dari kalangan baik intelijen maupun cyber kita itu siap menghadapi setiap [disrupsi informasi yang terjadi], sehingga tidak terjadi penyebaran yang masif. Begitu muncul itu harus sudah bisa diantisipasi, dideteksi. Barangkali memang ini butuh kerja keras, kerja tidak mudah, ya dan kesadaran tinggi,” katanya.
Dia juga menekankan pentingnya penguatan empat bingkai kerukunan agar masyarakat tidak mudah terpecah belah akibat informasi yang menyesatkan. Khususnya di Indonesia yang merupakan negara majemuk dengan beragam suku bangsa, agama, dan budaya.
Keempat bingkai kerukunan tersebut adalah bingkai politis, bingkai teologis, bingkai sosiologis, dan bingkai yuridis. Menurut Wapres, bingkai politis berarti kerukunan yang dibangun sesuai dengan kesepakatan nasional yang diperkuat dengan konsep Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara, bingkai teologis, Wapres mengatakan, kerukunan yang dibangun sesuai dengan ajaran agama, sehingga jika ada perbedaan, yang dibangun adalah kerukunan bukan narasi konflik.
“Narasi-narasi yang dalam menyampaikan dakwah, penyiaran agamanya itu harus menghindarkan narasi konflik ini. Ini yang harus kita jaga betul pemahaman ini. Nah ini harus kita upayakan,” katanya.
Terkait bingkai sosiologis, lanjutnya, kerukunan yang diciptakan sesuai dengan local wisdom, yaitu kearifan lokal, seperti di Batak ada dalihan natolu, di Ambon ada pela gandong, dan di Kalimantan ada rumah betang.
“Jadi, ini semua sebenarnya di daerah itu ada kearifan lokal yang menjaga kerukunan, dia harus kita hidupkan dan kita bangun, sehingga mereka, masing-masing daerah itu kembali kepada kearifan lokalnya,” katanya.
Terakhir, bingkai yuridis, yakni kerukunan dibentuk sesuai dengan aturan-aturan sehingga tidak terjadi konflik nasional. Baik kerukunan antar pemeluk agama, antar sesama bangsa, etnis dan lain sebagainya.