IHRAM.CO.ID, YERUSALEM – Laporan terbaru Save the Children mengungkapkan empat dari lima anak Palestina yang rumahnya dihancurkan oleh Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur mengatakan mereka merasa tidak dipedulikan dunia. Temuan tersebut muncul saat penduduk Palestina di lingkungan Sheikh Jarrah dan Silwan berisiko diusir dari rumah mereka sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung Israel.
Save the Children mewawancarai 217 keluarga Palestina yang rumahnya dihancurkan oleh Israel selama sepuluh tahun terakhir. Dari situ, mereka menemukan 80 persen anak-anak mengaku orang tua mereka tidak mampu melindunginya. Mereka merasa putus asa dan tidak berdaya tentang masa depan.
Mayoritas anak-anak yang disurvei juga menunjukkan tingkat distres yang tinggi, termasuk perasaan sedih, takut, depresi, dan cemas. “Saya masih trauma dengan tentara dan anjing mereka yang menyerang dan melukai ayah saya selama pembongkaran,” kata Ghassan yang berusia 15 tahun.
Ghassan selalu mendapat mimpi buruk tentang buldoser yang menghancurkan rumahnya dan suara ledakan yang terus menghantuinya.
Dilansir Middle East Eye, Rabu (30/6), pada bulan Maret, sebuah badan PBB memperingatkan bahwa Israel meningkatkan penghancuran rumah warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di wilayah Palestina mengatakan dalam sebuah laporan yang dirilis pada Selasa, tindakan Israel mengakibatkan pemindahan 305 warga Palestina termasuk 172 anak-anak.
Badan tersebut mencatat sejauh ini pada tahun 2021, rata-rata bulanan yang ditargetkan meningkat sebanyak 65 persen dibandingkan pada tahun 2020. Menurut Komite Israel, sejak 1967, otoritas Israel telah menghancurkan 28 ribu rumah Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Save the Children percaya pembongkaran tersebut telah mencabut rumah dari setidaknya enam ribu anak Palestina selama 12 tahun terakhir. Direktur Save the Children di wilayah Palestina Jason Lee menggambarkan temuan itu sebagai hal mengejutkan dan peringatan kepada masyarakat internasional.
“Pembongkaran ini tidak hanya ilegal menurut hukum internasional tapi hambatan bagi anak-anak untuk memenuhi hak mereka atas rumah yang aman. Sebagai kekuatan pendudukan, Israel harus melindungi hak-hak mereka yang hidup di bawah pendudukan, terutama anak-anak,” kata Lee dalam sebuah pernyataan.
Lee menyebut rumah anak-anak akan terus dirobohkan jika komunitas internasional tidak mendesak pertanggung jawaban kepada pemerintah Israel atas pelanggaran ini.
“Anak-anak harus merasa aman agar mereka bisa mendapat harapan lagi. Tanpa harapan, tidak ada masa depan bagi anak-anak untuk hidup damai. Komunitas internasional tidak bisa melupakan kewajibannya untuk menegakkan hak-hak anak-anak Palestina,” ujar dia.
Israel membela penghancuran rumah dengan mengatakan bangunan itu dibangun secara ilegal dan tanpa izin. Namun, orang-orang Palestina dan kelompok-kelompok hak asasi termasuk PBB, telah mendokumentasikan izin semacam itu hampir tidak mungkin diperoleh dari negara pendudukan.
OCHA mengungkapkan hampir 90 persen dari semua bangunan yang menjadi target pada Februari direbut di Area C tanpa peringatan sebelumnya. Sekitar 60 persen dari Tepi Barat yang diduduki dianggap sebagai Area C yang Israel memegang kendali penuh termasuk atas perencanaan dan konstruksi.