IHRAM.CO.ID, — Jamaah haji yang sudah berihram secara mutlak baik haji fardhu atau sunnah) dan ia tidak sempat wukuf di Arafah sempat terbit fajar hari Nahr(10 Dzulhijah), maka hajinya tak berlaku atau batal. Sebab waktu untuk wukuf telah habis, pada hakikatnya ini ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah.
Gus Arifin dalam bukunya Fiqih Haji dan Umrah menyampaikan pendapat Ibnu Jazi Al-Maliki mengatakan, "Haji seseorang batal jika tidak mengerjakan semua amalan haji dan tidak berada di Arafah sampai terbit fajar di hari nahr, baik wukuf atau tidak. Namun umrohnya tidak sebab ia tidak terbatas waktu."
Menurut ulama Syafi'iyah, orang yang tidak sempat melaksanakan wukuf di Arafah wajiblah baginya bertahallul dengan melaksanakan amalan umroh seperti tawaf, sai tanpa ihram baru, lalu bercukur atau menggunting (tahallul), dan wajib mengqadha hajinya pada tahun depan tanpa membayar pembayaran dam.
Sebab tahallul terjadi oleh amalan umroh sehingga dari segi dam sama kedudukannya dengan orang yang terkepung atau terhalang (ihshar).
Ijma sahabat menetapkan bahwa orang yang tertinggal haji (fawat) wajib menyembelih hadyu (hadyu adalah hewan persembahan atau yang lainnya untuk tanah haram. Namun dalam konteks ini dibatasi hanya hewan ternak (bahimatul an’am) berupa unta, sapi, atau kambing), sebab ia telah ihram tapi tidak ikut wukuf di Arafah. Jika ketinggalan tersebut sebagai sebab wajibnya hadyu, maka bagi yang ihram wajib dua hadyu (sembelihan) yaitu untuk sebab ketinggalan dan terkepung.
Menurut jumhur ulama, orang yang ketinggalan wukuf di Arafah hendaklah tahallul dengan amalan umroh seperti tawaf, sai, bercukur atau menggunting rambut serta hajinya diqadha pada tahun depan dengan menyembelih hewan qurban. Adapun ritual haji (manasik) lainnya gugur atau tidak diperlukan lagi, seperti mabit di Muzdalifah, wukuf di masy'aril haram, melontar, dan mabit di Mina.