IHRAM.CO.ID, WASHINGTON – Pada Selasa (13/7) Amerika Serikat meningkatkan peringatan terhadap perusahaan yang ingin melakukan bisnis di Xinjiang, China karena negara tersebut telah melanggar karena mempratikkan kerja paksa di wilayah tersebut.
“Mengingat besarnya pelanggaran ini, termasuk kerja paksa yang disponsori negara dan genosida yang sedang berlangsung di Xinjiang, bisnis dan atau investasi terkait ke Xinjiang bisa berisiko tinggi melanggar hukum AS,” kata pihak berwenang.
Peringatan yang awalnya dikeluarkan pada tahun 2020, sedang diperkuat untuk memberi tahu perusahaan yang melakukan bisnis di Xinjiang bahwa mereka berisiko melanggar undang-undang AS yang melarang perusahaan untuk mengambil manfaat dari kerja paksa. Bahkan, jika mereka melakukannya secara tidak langsung.
Negara, Departemen Keuangan, Keamanan Dalam Negeri, dan tiga lembaga lainnya tengah memberi tahu perusahaan bahwa mereka kemungkinan akan menghadapi hambatan untuk melakukan uji tuntas. Sebagian ini disebabkan kurangnya transparansi pemerintah dan perusahaan dan suasana negara di Xinjiang.
Dilansir Anadolu Agency, Rabu (14/7), peringatan itu melampaui perusahaan AS dan juga ditargetkan pada perusahaan modal ventura dan ekuitas swasta. AS di bawah mantan Presiden Donald Trump, menetapkan China melakukan genosida terhadap populasi minoritas Muslim Uighur Xinjiang dan bertekad terus menghadapi ini di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.
Pemerintah China secara rutin menyangkal tuduhan tersebut meskipun ada banyak bukti yang bertentangan. Hingga satu juta Muslim Uighur diyakini ditahan di kamp-kamp.
Beijing mengklaim kamp-kamp itu adalah pusat pendidikan yang dibangun untuk mereformasi penduduk setempat dan mengajarkan keterampilan baru. Namun, para penyintas dan mantan tahanan telah berbicara tentang tindakan penyiksaan yang brutal dan tidak manusiawi, baik fisik maupun psikologis, termasuk sterilisasi paksa terhadap perempuan Uighur.