IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Dalam ajaran Islam tidak semua Muslim dianjurkan untuk berkurban. Peneliti Rumah Fiqih Indonesia Ahmad Zarkasih menjelaskan dalam bukunya berjudul Antara Pekurban, Panitia, dan Tukang Jagal, pertama dikategorikan Muslim yang mampu berkurban adalah yang mempunyai kelebihan harta sebanyak 20 dinar berdasarkan mazhab Al-Hanafiyah.
Dalam beberapa sumber Al-Malikiyah disebutkan standar mampu berkurban adalah yang mempunya kelebihan harta 30 dinar. Jumlah tersebut merupakan harta lebih alias tidak terpakai.
Dalam mazhab Al-Hanafiyah, orang yang mempunyai kelebihan harta 20 dinar hukumnya wajib berkurban. Kalau saat ini satu dinar senilai Rp 2 juta, maka 20 dinar berarti Rp40 juta.
Kedua, Muslim yang dikategorikan mampu berkurban adalah yang penting berkecukupan. Ini berdasarkan mazhab Al-Syafi’iyyah. Kategori mampu yang dimaksud adalah yang mempunyai uang yang cukup untuk membeli hewan kurban dan menafkahi keluarga beserta orang-orang yang ditanggungnya selama hari-hari penyembelihan, yaitu 10 sampai 13 Dzulhijjah.
Standar ini berdasarkan dari salah satu hadits yang menyebut orang yang mampu itu bukan orang yang kaya melainkan orang yang cukup.
Dari Suhail bin al-Handzalah, Rasulullah bersabda, “Siapa yang meminta-minta padahal ia punya sesuatu yang mencukupkannya, sesungguhnya ia sedang mengumpulkan api neraka.” Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang mampu atau cukup itu?” Rasulullah menjawab, “Yang punya kecukupan untuk sehari dan semalam,” (HR Abu Dawud).
Dalam mazhab ini, hukum berkurban adalah sunnah muakkadah yang berarti sangat dianjurkan. Kalau tidak berkurban tidak apa-apa dan tidak tertimpa kemakruhan kepadanya dan keluarganya.
Standar nilai ini terhitung sejak malam Idul Adha atau terbenam matahari di tanggal 9 Dzulhijjah atau di hari tanggal 10 Dzulhijjah sejak terbit matahari. Yang jelas, dikatakan mampu dalam mazhab ini dihitung sejak waktu menyembelih itu datang bukan sejak awal bulan Dzulhijjah.