IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Kain Kiswah atau Penutup Ka'bah di Masjidil Haram dilakukan pergantian jelang pelaksanaan puncak ibadah haji 9 Dzulhijah 1442 Hijriah hari ini atau bertepatan dengan 19 Juli 2021. Dan ini merupakan tradisi tahunan jelang pelaksanaan wukuf di Arafah.
Sayang, bagi jamaah Indonesia jarang yang menyaksikan pergantian kiswah ini. Sebab, mereka saat kiswah diganti sudah bergerak ke padang Arafah untuk bersiap melakukan wukuf. Alhasil, ketika kain kiswah diangkat jarang dapat mereka lihat. Paling tidak mereka masih sempat menyaksikan kain kiswah disingkap ke atas sebelum diganti pada menjelang waktu wukuf itu.
Dan memang, bagi warga Makkah, ritual mengganti kain kiswah adalah sebuah peristiwa yang menarik yang ditunggu banyak orang. Acapkali saat ritual itu dilakukan, Masjidil Haram ditutup untuk umum, Namun pers dari mancanegara dipersilahkan mengikuti dan televisi lokal menayangkan langsung.
Dan sejatinya, mengganti kain kiswah bukan ritual istimewa. Namun, ini menjadi sangat menarik jika sebelum mengikutinya kita terlebih dahulu membaca literatur tentang pembuatan Kiswah dan berbagai peristiwa politik yang mewarnainya. Ternyata Kiswah bukan sekadar kain penutup Ka’bah, tapi telah menjadi bagian sejarah Masjidil Haram, jauh sebelum kelahiran Rasulullah.
Beberapa tahun silam, sepekan sebelum pergantian Kiswah berlangsung, Republika, bersama sejumlah wartawan dari mancanegara, berkesempatan mengunjungi Kiswah Factory di Umm Al-Jude. Di sisi jalan lama Makkah-Madina menuju ke Hudaibiyah. Bagian depan pabrik dipenuhi berbagai Kiswah yang pernah dipakai. Salah satunya adalah Kiswah pintu Ka’bah dari masa Dinasti Utsmaniah Turki. Ada pula, kain Kiswah yang dibuat di India, dan Mesir.
Namun, tidak banyak informasi sejarah tentang Kiswah dari tempat ini. Pemandu, yang hanya bisa berbahasa Arab, hanya menjelaskan bagaimana Kiswah dibuat, bahan-bahannya, dan serta ayat-ayah suci Alquran yang tertulis di atasnya.
Pemandu menolak menjelaskan mengapa Kiswah yang sekian ratus tahun dibuat di Mesir, tiba-tiba dibuat di Makkah. ”Itu persoalan politik,” ujarnya.
Sejarah perpindahan pembuatan Kiswah memang tidak bisa dilepaskan dari situasi politik di jazirah Arab, bahkan dunia. Itulah aspek menarik Kiswah. Banyak buku sejarah Islam sepakat Kiswah telah ada sejak Nabi Ibrahim, dan orang pertama yang membuatnya adalah Ismail — putra Ibrahim.
Raja Tub’a dari Yaman, yang menduduki Makkah dan Madina, melanjutkan tradisi ini. Ada banyak cerita tentang Raja Tub’a. Versi Yahudi mengatakan Tub’a menjadi pengikuti Judaisme. Sejarawan Ibnu Hisyam mengatakan Raja Tub’a melakukan ibadah haji. Sang raja bermimpi menyelimuti Ka’bah dengan kain. Ia mewujudkannya, dan Ka’bah diselimuti dengan kain warna-warni khas Yaman; kuning dan hijau.
Di masa pra-Islam, tradisi Kiswah terus berlanjut. Suku-suku Arab melakukan semua itu sebagai penghormatan terhadap peninggalkan nenek moyang mereka, sampai akhirnya kaum Quraish menguasai Makkah cukup lama.
Di masa Islan, Kiswah mulai dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat suci Alqurah. Terutama surat Al Ikhlas, serta kalimat Allahu Akbar, dan syahadat. Namun, Rasulullah belum mengganti warna Kiswah. Ia masih tetap menggunakan warna Yaman, peninggalkan Tub’a.
Di masa khalifah Abu Bakar, Omar Ibn al Khattab dan Utsman bin Affan, warnah Kiswah berganti. Ketiganya lebih menyukai warna Koptik khas Mesir.
Di masa Dinasi Muawiyah, Kiswah berganti warna lagi. Warna Koptik khas Mesir ditanggalkan, diganti dengan warna merah, putih, hijau, dan warna tradsional hitam. Saat itu telah muncul perdebatan apa warna yang pantas untuk Kiswah. Semua sepakat, Kiswah harus berwarna hitam.
Raja Muzaffar dari Yaman, yang memimpin Dinasti Abbasiyah, yang kali pertama membuat Kiswah dalam bentuk baju. Pembuatan dilakukan di Mesir, karena saat itu kekuasaan Abbasiah mencapai Mesir.
Tradisi pembuatan Kiswah di Mesir berlanjut sampai kekuasaan Daulah Utsmaniah. Setiap tahun sebuah iring-iringan panjang pembawa Kiswah berangkat dari Mesir. Mereka tidak hanya membawa Kiswah, tapi juga bantuan makanan untuk penduduk Mekkah.
Mesir menyerahkan Kiswah itu ke pemimpin Bani Shaibi — pemegang kunci Ka’bah. Tradisi ini berlanjut sampai Perang Duni I. Kiswah lama biasanya dibawa ke penguasa Dinasti Hashemite — sebelum terbentukknya Kerajaan Arab Saudi saat ini — dan dicacah untuk dijadikan souvenir.
Segalanya berubah saat Perang Dunia I terjadi. Turki Ottoman masuk ke dalam perang dan bersekutu dengan Jerman dan Austria. Mesir jatuh ke tangan Inggris, dan wilayah kekuasaan Turki mulai dipecah-pecah oleh Inggris.
Mesir masih mengirim Kiswah ke Mekkah dengan nama Sultan Mohamed Rashid Khan tertera di kain itu. Hussain Bin Ali, penguasa Mekkah saat itu, menolak. Ia memutuskan Kiswah lama masih akan digunakan, dan menjadi kiswah terakhir buatan Dinasti Ottoman.
Namun, Mesir masih terus mengirim Kiswah sampai 1921, dan semuanya ditolak. Selama konflik politik itu tidak ada pergantikan Kiswah. Penguasa Mekkah sempat menunjuk Irak sebagai pembuata Kiswah. Namun ketika Kiswah dibuat dan dikirim ke Mekkah, penguasa Mekkah tidak menggunakannya.
Konflik itu berakhir ketika tahun 1927 Raja Abdul Aziz membangun Pabrik Kiswah di Uum Al Jude. Untuk menghasilkan Kiswah berkulitas tinggi, sama dengan yang dibuat Mesir, Raja Abdul Aziz membawa ahli tenun dari India.
Sepuluh tahun setelah pabrik berdiri, Mesir dan Arab Saudi menjalin hubugan baik lagi. Tahun 1937, Mesir kembali mengirim Kiswah ke Mekkah. Semua ini berlangsung sampai 1962. Perbedaan politik Gamal Abdel Naseer dengan penguasa Arab Saudi mengakhiri semua itu.
Pabrik Kiswah di Makkah dibuka lagi tahun 1977, dan terus beroperasi sampai saat ini. Tampaknya Arab Saudi tidak akan lagi berpaling ke Mesir kali ketiga. Mereka ingin mandiri dalam memenuhi kebutuhan Kiswah.