IHRAM.CO.ID, MALANG -- Pandemi Covid-19 dinilai telah memberikan dampak pada perkembangan kajian keislaman. Hal ini diungkapkan Dekan Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Profesor Tobroni saat membuka Webinar Internasional bertemakan Islamic Studies in the Post-Pandemic Covid-19 Era: Challenges and Critical Issues, Selasa (31/8).
Menurut Tobroni, diperlukan diskusi untuk menemukan formula baru dalam kajian keislaman. Langkah ini penting karena semua bidang keilmuan berlomba mengambil peran untuk memberikan solusi atas masalah di tengah pandemi Covid-19. Hal ini tak terkecuali pada bisa bidang kajian islamic studies (keislaman).
Tobroni menilai saat ini kajian keislaman masih berkisar tentang apa yang terjadi di masa pandemi. Belum ada kajian yang membahas dengan baik tentang bagaimana peran bidang kajian ini di masa setelah pandemi. Padahal hal ini sangat dibutuhkan para akademisi untuk dijadikan referensi keilmuan.
"Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya untuk menggali, memetakan dan mendefinisikan kembali keilmuan tentang islamic studies khususnya dalam bidang Pendidikan Islam, Hukum Islam, dan Ekonomi Islam,” katanya dalam pesan rilis yang diterima, Selasa (31/8).
Selain Tobroni, kegiatan ini juga dihadiri Assoc. Profesor Muhammad Ali dari The University of California Riverside-USA. Pada kesempatan tersebut, dia menjelaskan terkait kajian Islam yang ada di Amerika.
Menurut Ali, kini Islam tidak hanya dipelajari oleh kalangan Muslim tapi juga non-Muslim. Untuk para penganut Islam, kajian islam diharapkan dapat membuat mereka menjadi muslim yang lebih baik. Sementara bagi non-muslim, mereka ingin lebih tahu, memahami dan mengapresiasi terkait Islam yang sebenarnya.
Berbeda dengan Indonesia atau Malaysia, Amerika tidak mengatur keharusan atau pelarangan warganya untuk belajar agama. Sebab itu, ada berbagai institusi pendidikan Islam yang bisa ditemui di Amerika. Beberapa di antaranya seperti Seminar Islam, American Islamic College, Muslim Liberal Arts, hingga yang tersedia di higher education seperti universitas.
Ali juga menjelaskan terkait berpikir kritis dalam kajian islam. Artinya, berpikir kritis harus mampu memahami hubungan logis dengan ide , menyelesaikan masalah secara sitematis, percaya pada akal ketimbang emosi sesaat dan harus ada fakta serta bukti. Di samping itu, dalam kajian Islam juga harus terbuka terhadap penjelasan alternatif yang ada.
Sementara itu, Profesor Moncef Ben Abdel Jelel dari The University De Saosa, Tunisia memaparkan mengenai pengajaran berlapis bahasa Arab di kawasan Muslim. Moncef menilai, penggunaan pendidikan daring sudah menjadi keharusan di era pandemi. Akan muncul berbagai tantangan seperti kurikulum yang dituntut interaktif, aksesnya, kemampuan para pendidik, kemampuan siswa berteknologi dan keterjangkauan.
“Pendidikan juga akan lebih efisien jika menggunakan teks, debat, diskusi dan pendekatan kritis,” ungkapnya.
Moncef juga menganjurkan agar institusi seperti UMM dapat menggunakan dua metode dalam pengajaran bahasa arab. Pertama, memulai kampung bahasa Arab yang diatur oleh kampus. Ia menilai kampung tersebut bisa menjadi aset yang baik.
“Penggunaan twin teaching method yang disusun oleh para ahli bahasa Arab dan Indonesia juga bisa dilakukan untuk memberikan hasil yang maksimal,” kata dia menambahkan.