IHRAM.CO.ID, Pada 1950, Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia. Masa revolusi pun usai. Berbagai daerah mulai kembali ke keadaan kondusif. Di Temanggung, Jawa Tengah, seorang ulama lokal KH Mandhur hendak kembali memulihkan Pondok Pesantren al-Falah yang dibangunnya dahulu.
Ketika NICA rezim Hindia Belanda masih bercokol di Nusantara, konsentrasinya lebih tercurah pada menyokong perjuangan laskar-laskar yang berjibaku mempertahankan negeri.
Akan tetapi, niat Kiai Mandhur belum terlaksana. Sebab, dirinya terlebih dahulu mendapatkan surat perintah dari menteri agama RI saat itu, KH Abdul Wahid Hasyim. Dari Jakarta, surat itu berisi ajakan agar sang kiai bersedia menerima amanah sebagai Imam Masjid Agung Darussalam Temanggung. Dengan berat hati, dirinya pun menyanggupi permintaan itu.
Sejak itu, KH Mandhur pindah dari tempat tinggalnya semula ke pusat Kabupaten Temanggung. Hal itu lantaran dirinya lebih mudah dalam menjalankan pelbagai tugas selaku imam besar. Di sana, mubaligh kelahiran 1862 ini menetap di rumah bekas orang Prancis. Letaknya persis di seberang Masjid Agung Darussalam.
Sebagai imam besar, ia kemudian menghidupkan kembali kegiatan pengajian jamaah tarekatnya. Biasanya, pengajian atau majelis zikir digelar di serambi masjid tersebut. Waktu pengajian digelar setiap malam Jumat. Adapun pengajian umum diadakan setiap Rabu.