Jumat 01 Oct 2021 22:10 WIB

Hukum Berwasiat dalam Pandangan Ulama

Hukum Berwasiat dalam Pandangan Ulama

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Berwasiat dalam Pandangan Ulama. Foto: Harta warisan (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Hukum Berwasiat dalam Pandangan Ulama. Foto: Harta warisan (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Para ulama saling berbeda pendapat tentang apakah membuat wasiat hukumnya wajib ataukah sunnah bagi umat Muslim yang memiliki kecukupan harta.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH Mahbub Maafi menjelaskan, hukum berwasiat bisa berbeda-beda tergantung dari situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Hukum wasiat, kata dia, bisa berhukum wajib apabila yang bersangkutan memiliki utang.

Baca Juga

“Misalnya orang yang punya utang, maka dia wajib berwasiat. Kalau dia sampai meninggal, dia berwasiat agar utang-utangnya ditanggung siapa, kan. Ini wajib hukumnya bagi dia,” kata KH Mahbub saat dihubungi Republika, Kamis (30/9).

Lebih lanjut dia menjelaskan hukum berwasiat dapat menjadi sunnah ketika ada orang yang menjelang ajalnya memberikan wasiat kepada kerabat, atau bukan pada ahli waris. Dan berwasiat hukumnya bisa menjadi haram apabila yang bersangkutan mewasiatkan hartanya untuk difungsikan atau disalurkan kepada hal-hal yang maksiat.

Di sisi lain, Kiai Mahbub menjelaskan bahwa seseorang harus dapat membedakan antara orang yang berwasiat dan orang yang diwasiatkan. Sebab penentuan hukum bagi keduanya jelas berbeda di dalam fikih. Adapun wasiat sendiri di dalam hukum Islam merupakan anjuran yang baik bagi kaum Muslimin.

Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 180, “Kutiba alaikum idza hadhara ahadukum al-mautu in taraka khairan al-washiyyatu lil-walidaini wal-wal-aqrabina bil-ma’rufi haqqan alalmuttaqin,”. Yang artinya, “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa,”.

Dalam hadis, disunahkan bagi umat Islam untuk berwasiat apabila hendak berpergian. Disebutkan, “Kaana Rasulullah SAW yuwaddi’una fayaqul: astadi’ullaha dinaka wa amanaataka wa khawatima amalika,” . Yang artinya, “Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalanmu,”.

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunnah, dan Pendapat Para Ulama terbitan Naoura Penerbit menjelaskan bahwa setidaknya terdapat lima hal yang dirincikan oleh para ulama mengenai hal tersebut.

Pertama, wasiat hukumnya wajib. Yakni apabila ada suatu kewajiban (berkaitan dengan hak Allah atau hak manusia lain) yang harus dia laksanakan sedemikian sehingga khawatir jika tidak diwasiatkan hal itu tidak disampaikan kepada yang berhak. Misalnya, zakat yang belum dia keluarkan atau kewajiban berhaji yang belum dia laksanakan. Atau ada titipan yang diamanahkan kepadanya, atau utang yang harus dilunasi, dan sebagainya.

Kedua, wasiat huumnya mustahab (sangat dianjurkan). Yakni dalam berbagai perbuatan taqarrub (pendekatan diri kepada Allah), yaitu dengan mewasiatkan sebagian dari harta yang ditinggalkan untuk diberikan kepada sanak kerabat yang miskin (terutama yang tidak menerima bagian dari warisan). Atau orang-orang shaleh yang memerlukan, atau untuk hal-hal yang berguna bagi masyarakat seperti pembangunan lembaga pendidikan, kesehatan, sosial, dan sebagainya.

Ketiga, wasiat hukumnya haram jika menimbulkan kezaliman bagi ahli waris. Yakni jika dimaksudkan untuk sesuatu yang haram. Misalnya, untuk membangun tempat-tempat minuman atau perbuatan haram, atau kuil, gereja, dan sebagainya. Atau untuk menghambur-hamburkan uang dalam hal yang tidak bermanfaat, ini juga haram.

Keempat, wasiat hukumnya makruh. Yakni jika harta si pemberi wasiat hanya sedikit, sedangkan para ahli waris sangat memerlukannya. Atau jika ditujukan kepada orang-orang tertentu yang ada kemungkinan dapat digunakan oleh mereka dalam melakukan kegiatan kefasikan (perbuatan dosa) dan sebagainya.

Kelima, wasiat hukumnya mubah (boleh). Yakni jika dilakukan oleh seseorang yang cukup kaya dan ditujukan kepada siapa saja yang dikehendaki olehnya, baik dia termasuk sanak kerabatnya atau pun bukan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement