Seorang ahli air yang berbasis di Gaza, Ramzy Ahel, mengatakan, pembicaraan tentang krisis air dimulai pada 2012, ketika PBB mengeluarkan pernyataan yang mengatakan Gaza akan menjadi tempat yang tidak layak huni pada 2020. Sembilan tahun sejak pembicaraan krisis air dimulai, angka dan statistik menunjukkan fakta mengerikan tentang situasi air di Jalur Gaza.
“Semua strategi pembangunan ditunda, dan satu-satunya akuifer dari jalur tersebut telah lumpuh selama bertahun-tahun. Tidak ada alternatif, tidak ada sungai atau lembah di Jalur Gaza untuk menghentikan krisis air," ujar Ahel.
Menurut Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa sekitar 97 persen air di Gaza telah terkontaminasi.
"Situasi ini diperparah oleh krisis listrik akut yang menghambat pengoperasian sumur air dan pabrik pengolahan limbah, yang menyebabkan sekitar 80 persen limbah Gaza yang tidak diolah dibuang ke laut sementara 20 persen meresap ke air bawah tanah," kata LSM tersebut.
Data terbaru menunjukkan sekitar seperempat dari penyakit yang menyebar di Gaza disebabkan oleh polusi air. Sebanyak 12 persen dari kematian anak-anak dan bayi terkait dengan penyakit usus yang berhubungan dengan air yang terkontaminasi.
“Penduduk sipil yang dikurung di daerah kumuh beracun sejak lahir sampai mati dipaksa untuk menyaksikan keracunan lambat anak-anak dan orang-orang terkasih mereka oleh air yang mereka minum dan kemungkinan tanah tempat mereka memanen, tanpa henti, tanpa perubahan yang terlihat,” Muhammad Shehada, kepala program dan komunikasi kelompok itu, mengatakan dalam pernyataan lisan yang dibuat pada sesi ke-48 Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC).