IHRAM.CO.ID, ISLAMABAD — Pakistan telah menunjuk Ayesha Malik sebagai hakim agung wanita pertama. Pada Kamis (6/1), Ayesha Malik berhasil duduk di bangku Mahkamah Agung Pakistan. Ini adalah sejarah baru, karena selama ini Pakistan adalah satu-satunya negara di kawasan Asia selatan yang tidak memiliki hakim wanita di Mahkamah Agung.
”Pakistan telah mengkonfirmasi penunjukan hakim Mahkamah Agung wanita pertama,” kata anggota partai yang berkuasa di negara itu, dilansir dari The National News, Jumat (7/1).
Komisi yang memutuskan promosi hakim itu pada Kamis (6/1) memilih Ayesha Malik yang berusia 55 tahun sebagai hakim wanita pertama di Mahkamah Agung.
“Momen penting dan menentukan di negara kami sebagai pengacara yang brilian dan hakim yang terhormat telah menjadikan Malik sebagai hakim agung wanita pertama di Pakistan,” kata anggota partai Tehreek-e-Insaaf yang berkuasa di Pakistan dan Sekretaris Parlemen untuk Hukum Maleeka Bokhari di Twitter.
“Ini juga mendobrak langit-langit kaca (sistem patriarki)," tambahnya.
Paksitan memang dikenal sebagai salah satu negara yang masih menjunjung sistem patriarki di tengah kehidupan bermasyarakat. Terpilihnya Ayesha Malik sebagai hakim agung membawa angin segar bagi Pakistan.
Akan tetapi, keputusan ini tentu saja memecah belah, karena Badan sembilan anggota yang mengkonfirmasi pengangkatannya menolak pengangkatannya ke pengadilan tinggi tahun lalu. Kemudian dilakukan pemungutan suara ulang pada Kamis kemarin secara ditutup.
Menurut sumber yang mengetahui pemungutan suara tertutup itu, suara kembali pecah, lima berbanding empat suara.
Banyak pengacara dan bahkan hakim, baik di dalam maupun di luar forum, menentang langkah tersebut. Mereka mengatakan, penunjukan itu bertentangan dengan daftar senioritas tanpa kriteria seleksi yang ditetapkan.
Malik tidak termasuk di antara tiga hakim paling senior di pengadilan yang lebih rendah dari mana dia diangkat.
“Masalah utamanya bukanlah bahwa pernah ada tanda tanya tentang kompetensi Hakim Ayesha Malik atau fakta bahwa dia adalah hakim yang baik,” kata Imaan Mazari-Hazir, seorang pengacara dan aktivis hak vokal.
“yang menjadi pertanyaan adalah dan masih mengenai proses pengambilan keputusan dan proses yang sewenang-wenang dan tidak transparan dari Komisi Yudisial Pakistan,” sambungnya dan menambahkan bahwa gender hakim itu telah dieksploitasi.
Sejumlah badan hukum mengancam akan mogok dan memboikot proses pengadilan atas penunjukan tersebut setelah mereka mengatakan seruan mereka untuk menyusun kriteria tetap untuk pencalonan hakim Mahkamah Agung diabaikan.