IHRAM.CO.ID,KUALA LUMPUR -- Pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung membawa dampak besar pada kehidupan masyarakat seluruh dunia. Hal tersebut juga dirasakan dalam hal beribadah, dimana sejumlah prosedur operasi standar (SOP) diterapkan, sebagai upaya membendung penyebaran virus.
Protokol serupa juga berlaku bagi umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji ke Makkah, yang merupakan rukun Islam kelima. Sejumlah aturan dinilai akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi dari biasanya.
Direktur Eksekutif Tabung Haji (TH) Haji Datuk Seri Syed Saleh Syed Abdul Rahman menjelaskan, kenaikan biaya haji tidak dapat dihindari karena biaya tambahan yang dikeluarkan dalam penerapan SOP baru. Hal ini juga berdampak pada biaya operasional dan biaya lainnya, baik di Malaysia dan Arab Saudi.
Mengingat biaya yang terus meningkat, muncul kekhawatiran apakah TH, terutama dalam hal keuangannya, dapat terus memberikan bantuan kepada jamaah untuk membantu menekan biaya haji. Menurut catatannya, TH telah memberikan bantuan keuangan kepada jamaah haji senilai 2 miliar ringgit Malaysia sejak 2001.
Pada 2019, misalnya, biaya penuh melakukan haji mencapai 22.900 ringgit per orang. Tetapi, untuk pertama kalinya peziarah hanya diminta membayar 9.980 ringgit per orang, dimana sisanya 12.920 ringgit ditanggung TH.
Dilansir di Bernama, Senin (14/2), Malaysia tidak mengirimkan jamaah hajinya ke Arab Saudi pada 2020 dan 2021, karena pandemi Covid-19.
Mengomentari kondisi saat ini, konsultan keuangan lepas Suzardi Maulan mengatakan, calon jamaah haji harus menerima kenyataan kenaikan biaya haji. Sebagai lembaga keuangan Islam terkemuka bangsa, TH harus mengambil langkah-langkah bijaksana yang memungkinkan mempertahankan operasinya pada tingkat terbaik, setelah kenaikan biaya haji.
"Saat ini, jika Anda melihat investasi pendapatan tetap, pengembaliannya rendah dan inilah kenyataannya. TH unik karena tidak seperti ASB (Amanah Saham Bumiputera) yang memberikan imbal hasil kepada deposan. TH membagi keuntungannya dan membantu (mengelola) mereka yang ingin pergi haji," kata dia.
Karena itu, lembaga keuangan syariah ini dinilai harus meninjau kembali tujuannya, apakah ingin membantu orang menunaikan haji atau membantu penabungnya mendapatkan pengembalian (atas simpanannya). Keputusan ini disebut akan mempertimbangkan prioritas dari titik pandang tingkat tinggi.
Untuk memastikan keberlanjutannya, Suzardi juga mengatakan TH harus mengubah pendekatannya dan tidak boleh terikat dengan keinginan berbagai pihak, termasuk kliennya. Hal ini karena situasi yang ada tidak sama dengan tahun 1990-an, ketika TH dapat memberikan pengembalian yang tinggi kepada para deposan.
“Sebagai lembaga keuangan, TH tunduk pada perubahan pasar dan tidak kebal terhadap risiko pasar, (oleh karena itu) kita harus menerima (kenyataan) situasi TH tidak sama seperti sebelumnya,” ujarnya.
Di sisi lain, Dosen Senior Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universiti Malaya Dr Mohd Zaidi Md Zabri mengatakan, penerapan SOP untuk menekan penyebaran Covid-19 menjadi salah satu faktor utama kenaikan harga haji. Karantina, tes swab, serta biaya perawatan kesehatan bagi jamaah juga diperkirakan akan menaikkan biaya haji.
Ia menyebut Pemerintah Arab Saudi telah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 15 persen dari sebelumnya lima persen. Kebijakan tersebut juga dapat menyebabkan biaya haji dan umrah naik.
“Nilai tukar mata uang asing juga berpengaruh signifikan terhadap biaya haji. Menurut Riset Risiko Negara dan Industri Fitch Solutions, kinerja ringgit diperkirakan akan melemah pada 2022, yang dapat menyebabkan kenaikan biaya haji dalam waktu dekat,” ucap dia.
Mohd Zaidi menyatakan dukungan atas seruan berbagai pihak yang mendesak TH menyalurkan bantuan haji kepada lansia dan kelompok B40, agar mereka dapat menikmati pengalaman menunaikan haji.
Ia mengatakan, bantuan yang ditargetkan tersebut sejalan dengan konsep ekonomi Islam, yang menekankan pada konsep pemerataan daripada kesetaraan.
“Konsep awal TH, inti dari ide di balik pendirian TH oleh Almarhum Prof Ungku Aziz Royal, adalah membantu calon jamaah haji menabung untuk keperluan menunaikan haji, tanpa berdampak negatif pada keuangan dan ekonomi mereka sendiri," lanjutnya.
Karena itu, ia menilai jika calon jamaah haji mampu menunaikan ibadah haji tanpa merugikan keuangannya, maka mereka tidak membutuhkan bantuan (TH). Misalnya, jamaah haji dari golongan T20 bisa menunaikan haji dengan membayar lunas, atau mampu melunasi biaya dalam waktu dekat.
Sementara itu, asisten profesor di Departemen Keuangan Universitas Islam Internasional Malaysia Dr Nur Hasnida Abdul Rahman tidak menampik kemungkinan terjadinya defisit kepercayaan pada TH, jika mereka berhenti memberikan bantuan haji tanpa memiliki strategi yang berkelanjutan.
Dia mengatakan, cara terbaik untuk menangani masalah bantuan haji adalah dengan meminta komite urusan agama Dewan Fatwa Nasional untuk bertemu dan mengeluarkan fatwa tentang bantuan haji TH.
“Kami harus mengerahkan upaya kami dalam memberikan pendidikan keuangan yang tepat dan memperbaiki kesalahpahaman yang muncul atas hibah luar biasa tinggi sebelumnya dengan memahami tujuan awal (mendirikan) TH, yang merupakan organisasi pengelola haji terkemuka," ucap dia.
Sebagian besar deposan TH disebut menyimpan simpanannya di TH dengan tujuan utama menunaikan ibadah haji. Mereka merupakan target yang perlu diberikan edukasi keuangan berkelanjutan oleh TH.
Nur Hasnida juga mendesak TH mengintensifkan upaya membantu calon jamaah haji menabung untuk keperluan menunaikan haji, tanpa berdampak negatif pada keuangan dan ekonomi mereka.
Tak hanya itu, ia juga menilai harus dilakukan upaya meluruskan kesalahpahaman tentang kewajiban haji. Selama ini, muncul pemahaman tentang konsep istito’ah atau mampu hanya sebatas aspek kesehatan dan usaha, tanpa memberikan perhatian khusus pada kemampuan finansial.
“Selama ini kita ‘diberdayakan’ oleh bantuan yang diberikan oleh TH dan fenomena tidak sehat ini bisa berdampak negatif terhadap keberlangsungan operasional TH,” ujarnya.
Sumber:
https://www.bernama.com/en/b_focus/news.php?id=2051163