IHRAM.CO.ID, JAKARTA - Sebanyak 99,2 persen penduduk berusia 1 tahun ke atas di Jawa-Bali sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Hal tersebut didapatkan dari survei serologi yang diumumkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) yang dilaksanakan pada Maret 2022.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI
Prof Tjandra Yoga Aditama menyambut baik hasil tersebut. Ia berharap dengan angka yang sudah hampir 100 persen ini maka situasi COVID-19 dapat terus terkendali baik.
\"Kita tentu berbesar hati membaca berita bahwa survei terakhir menunjukkan proporsi penduduk di wilayah asal dan tujuan mudik Jawa-Bali yang mempunyai antibodi
SARS CoV-2 adalah sebesar 99,2 persen. Kita tentu berharap agar dengan angka yang sudah hampir 100 persen ini maka situasi COVID-19 dapat terus terkendali baik, \" kata Tjandra dalam keterangan, Sabtu (23/4/2022).
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu memandang alangkah baiknya bila ada survei lain yang menggambarkan situasi Indonesia pada umumnya. Diketahui, sero survei ini dilakukan di 21 kabupaten/kota terpilih yang merupakan asal dan tujuan mudik.
"Atau setidaknya di sebagian cukup besar dari 500an kabupaten di negara kita,\" tutur Tjandra.
Karena, bila melihat pengumuman pemerintah Inggris tentang hasil survei antibodi mereka pada 14 Maret 2022, disebutkan bahwa Inggris menggunakan batas 179 ng/ml untuk dinyatakan sebagai positif. Hal setara dengan nilai 100 BAU/ml standar unit WHO.
" Angka batas ini sudah dinaikkan dari batas sebelumnya yang hanya 42 ng/ml, maksudnya supaya memberi interpertasi yang lebih baik. Usulannya adalah bahwa dalam hal ini akan baik kalau dijelaskan angka ini dalam kaitannya dengan survei kita di Indonesia yang menuliskan Level of detection (LOD): 0,40 U/ml," terangnya.
Dalam laporan Inggris itu juga menyebutkan bahwa dengan batas 179 ng/ml itu artinya kalau positif memberi proteksi 67 persen lebih rendah risiko mendapat infeksi COVID-19 varian Delta, sesudah seseorang mendapat dua kali vaksinasi dengan Pfizer atau AstraZeneca, dibandingkan dengan mereka yang belum divaksin atau belum pernah sakit. Usulannya adalah akan baik kalau diumumkan juga hal serupa dari survei dalam bentuk bagaimana sebenarnya interpertasi.
"Apakah ada angka secara kuantitatif berapa persentase turunnya risiko (seperti di Inggris) untuk data kita di 21 Kabupaten kita ini, juga penurunan risiko itu apakah berbeda pada jenis-jenis vaksin tertentu," ujarnya.
"Ini karena di Inggris menyebutkan dampak dua jenis vaksin mereka, dan kita menggunakan beberapa jenis vaksin," sambung Tjandra.