IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kaum Assassin menjalankan misi dengan cara menyamar dan menyusup ke lingkaran terdekat sasaran. Ketika tiba saatnya, mereka melakukan serangan tak terduga. Assassin adalah kelompok teroris yang terorganisasi, terlatih, dan memiliki kemampuan membunuh dengan cepat. Mereka bisa jadi menyamar menjadi pengemis, sufi, atau rakyat biasa.
Kendati persiapan dijalankan dengan tingkat kerahasiaan tinggi, eksekusi biasanya dilakukan di tempat terbuka, bahkan di depan kerumunan besar. Masjid biasa dipilih sebagai lokasi pembunuhan. Tujuannya tak lain untuk menciptakan teror di tengah masyarakat.
Para pemimpin Suni dan kaum Salib menjadi ketakutan dengan serangan mendadak yang tak terduga di tengan kerumunan pasar. Sampai-sampai, "Beberapa pejabat memakai baju pengaman dari besi yang dipasang di balik baju," kata Imam as-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa'.
Aksi teror mereka sangat banyak memakan korban. Tidak hanya dari kalangan pemimpin semisal Khalifah Abbasiyah al-Mustarsyid (1135), tapi juga ulama. Raja Yerussalem Conrat Montferrat merupakan salah satu korban Assassin dari kalangan Kristen. Kendati menimbulkan ketakutan parah, sebagian kalangan justru memanfaatkan kaum Assassin untuk mewujudkan tujuan mereka. Assassin pun selanjutnya dikenal pula sebagai pembunuh bayaran.
Setelah kematian Nizam al-Mulk, pengaruh Dinasti Saljuk mulai melemah. Kaum Assassin lebih leluasa melancarkan misi. Pada saat yang sama, Perang Salib I dikobarkan. Orang-orang Frank melakukan serangan ke Asia kecil dan Suriah.
Kendati banyak tentara Salib yang menjadi sasaran Assassin, kelompok ini kemudian juga ditengarai menjalin kerja sama dengan pasukan Salib. Sejumlah rencana penyerangan terhadap pasukan Salib berhasil digagalkan oleh Assassin lewat pembunuhan tokoh-tokoh kunci. Pasalnya, musuh utama mereka sama. Kedua kelompok tersebut sama-sama menyerang kaum Suni yang mayoritas.
Pada abad berikutnya, aksi teror juga pernah muncul ketika Dinasti Ottoman berkuasa. Sejumlah kelompok nasionalis melakukan aksi teror untuk melepaskan diri dari wilayah kekhalifahan tersebut. Aksi-aksi teror ini dipicu oleh motif politik. Salah satunya, Federasi Revolusi Armenia, sebuah kelompok pergerakan revolusioner yang didirikan di Tiflis pada 1890 oleh Cristapor Mikaelian.
Banyak anggota kelompok ini telah menjadi bagian dari Narodnaya Volya atau Hunchakian Revolutionary Party. Mereka menerbitkan publikasi-publikasi dan menyelundupkan senjata untuk mendatangkan intervensi Eropa supaya memaksa Kekaisaran Ottoman menyerahkan kontrol atas wilayah Armenia.
Juga terinspirasi oleh Narodnaya Volya, kelompok lain yang melakukan aksi teror pada masa-masa kejatuhan Ottoman adalah International Macedonian Revolutionary Organization (IMRO). IMRO merupakan sebuah gerakan revolusioner yang didirikan pada 1893 oleh Hristo Tatarchev di wilayah Makedonia yang dikuasai Ottoman. Lewat aksi pembunuhan dan provokasi, kelompok ini berusaha untuk memaksa Pemerintah Ottoman melepaskan wilayah Makedonia.
Pada 20 Juli 1903, kelompok ini menghasut pemberontakan Ilinden di Monastir. IMRO menyatakan kemerdekaan kota tersebut serta mengirim tuntutan kepada Eropa untuk membantu membebaskan seluruh wilayah Makedonia. Namun, tuntutan itu diabaikan. Pasukan Turki mengalahkan 27 ribu pemberontak di kota, dua bulan kemudian.