Sabtu 07 Sep 2013 10:10 WIB
Logistik Nasional

Biaya Logistik Hambat Perdagangan

Antrean truk di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO
Antrean truk di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan tahunan terbaru Bank Dunia menyatakan bahwa biaya logistik tinggi dapat menghambat akses perdagangan Indonesia kepada pasar internasional, serta mengganggu pencapaian target pertumbuhan ekonomi.

Spesialis Senior Perdagangan Bank Dunia Henry Sandee dalam keterangan pers yang diterima Republika di Jakarta, Jumat (6/9), menyatakan, biaya logistik nasional di Indonesia adalah 24 persen dari PDB. “Ini lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga,” ujar Henry. Menurut dia, dengan menekan biaya dan meningkatkan kualitas sistem logistik dan transportasi akan meningkatkan akses ke pasar internasional dan berdampak langsung pada peningkatan perdagangan.

Laporan tahunan tersebut disusun oleh Pusat Pengkajian Logistik dan Rantai Pasok ITB Bandung, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Kelompok STC, Panteia Research Institute di Belanda, dan Kantor Bank Dunia Indonesia. Laporan disusun guna menganalisis dan memberikan gambaran tentang kemajuan yang dibuat dalam menanggulangi permasalahan logistik di Indonesia. 

Henry menjelaskan, salah satu dari hasil studi tersebut adalah mengenai kurangnya efisiensi pelayanan kepabeanan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, terutama terkait masalah waktu bongkar muat barang dari kapal hingga keluar pelabuhan (dwelling time). “Waktu tunggu (dwelling time) kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok meningkat dari 4,8 hari pada Oktober 2010 menjadi delapan hari pada tahun 2013. Hal ini memperburuk situasi bottleneck bagi impor dan ekspor Indonesia,” ujarnya.

Henry yang juga merupakan pakar perdagangan menambahkan, temuan lain menunjukkan bahwa program pemerintah untuk memanfaatkan pelabuhan 24 jam per hari selama tujuh hari belum maksimal, meskipun telah dilakukan percepatan proses pengurusan dokumen dan perizinan ekspor-impor.

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan Cikarang Dry Port untuk izin impor belum berkembang sesuai harapan karena akses yang masih sangat terbatas. Padahal, fasilitas jasa logistik ini dapat menekan biaya dan waktu serta mendukung pelayanan kepabeanan di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sejak akhir Juli 2013, pemerintah telah berupaya meningkatkan efektivitas pemanfaatan Tempat Penimbunan Pabean Marunda serta Cikarang Dry Port agar kepadatan kontainer berkurang dan tidak lagi mengganggu proses kelancaran arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok.

Namun, kemungkinan terjadinya kemacetan di sekitar kawasan pelabuhan tersebut masih akan berlangsung. Penyebabnya, akses infrastruktur jalan sangat terbatas dan belum adanya tempat parkir memadai bagi truk pengangkut kontainer.

Selain itu, pemerintah telah memperbaiki kondisi jalan di sekitar pembangunan tol Tanjung Priok yang beberapa waktu lalu mengalami kerusakan dan pemasangan rambu telah dilakukan oleh otoritas kawasan pelabuhan.

Saat ini, tim dari Kementerian Keuangan juga telah memfasilitasi koordinasi di antara Satuan Kerja Jalan Bebas Hambatan Tanjung Priok untuk mempercepat pembangunan jalan tol yang masih terkendala lahan dan perizinan. n rr laeny sulistyawati/antara ed: eh ismail

Waspadai Alih Kerja

JAKARTA -- Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Ina Primiana mengatakan, pemerintah harus mewaspadai dampak alih kerja, yaitu produsen menjadi pedagang, apabila defisit neraca perdagangan tidak segera diatasi.

Menurut Ina, harus ada perbaikan dari sisi suplai untuk mengatasi defisit neraca perdagangan yang terjadi saat ini. Dia melanjutkan, pemicu defisit neraca perdagangan disebabkan kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya domestik yang memiliki nilai tambah yang berpotensi menarik devisa lebih besar.

Tidak hanya itu, impor terus dibiarkan akibat terus menurunnya produksi atau kapasitas di dalam negeri karena tidak adanya perencanaan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Selain itu, menjamurnya hipermarket atau mal yang menjual barang impor dan perjanjian perdagangan internasional (FTA) tanpa memperhatikan kekuatan domestik juga memperparah defisit neraca perdagangan.

“Saya khawatir, kalau kondisi ini tidak segera diatasi bisa menurunkan daya beli masyarakat, kemiskinan meningkat, dan industri mengalami kebangkrutan yang akhirnya membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat,” kata Ina dalam diskusi Kadin yang membahas perkembangan situasi ekonomi dan keuangan Indonesia, di Jakarta, Jumat (6/9).

Ketua LP3E Kadin Didik J Rachbini menilai, krisis atau melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS akibat kelalaian pemerintah dan DPR. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Presiden Republik Indonesia, serta DPR tidak tepat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan fiskal nasional.

Menuut Didik, sebenarnya perekonomian Indonesia selama hampir satu dekade terakhir dalam kondisi bagus. Meski demikian, ada sisi-sisi perekonomian yang lemah. “Kalau (sisi ekonomi yang lemah) itu tidak dibereskan, diselesaikan, dan dilindungi, maka perekonomian rontok semua,” katanya. n rr laeny sulistyawati ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement