REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yeyen Rostiyani
Rombongan demi rombongan manusia mulai berdatangan ke Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi. Mereka berjalan mengelilingi Ka’bah, berlawanan dengan arah jarum jam.
Mereka sedang melaksanakan tawaf sunnah. Karena jutaan calon haji lainnya belum berdatangan, suasana terlihat lebih lengang. Jika kaum laki-laki mengenakan ihram putih, maka kaum wanitanya kadang terlihat mengenakan warna lain, seperti hitam.
Mendapat panggilan bertamu ke rumah Allah atau Baitullah, menjadi karunia yang tak hentinya saya syukuri. Beragam kisah dari orang tua, saudara, teman, atau tetangga menjadi referensi sebelum keberangkatan ke tanah suci ini.
Namun, jujur saja bahwa sebagai manusia biasa, saya pun mengalami kecemasan. Salah satunya, bagaimana dengan cuaca di Arab Saudi? Bagaimana pun, Saudi adalah negara asing. Apalagi iklimnya pun berbeda dengan Indonesia.
Saya pun teringat pengalaman 2002, ketika saya mendapat tugas meliput pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke Qatar. Sebagian besar acara dilakukan di ruang ber-AC.
Maka saya terkejut saat keluar dari hotel, saya seperti membuka pintu oven. Rasa panas langsung menerpa wajah saya saat itu. Kalau tidak salah, saat itu masuk bulan Oktober. Yah, kira-kira sama seperti musim haji tahun ini.
Saat ini suhu di Makkah tercatat antara 41-43 derajat Celsius. Cukup terik. Apalagi Saudi tak sehijau Indonesia. Pemandangan didominasi warna krem seakan memantulkan kembali panas matahari. Makanya, kacamata hitam amat membantu untuk meredam kesilauan. Jadi, jika Anda masih berada di Tanah Air, jangan lupa membawa kacamata hitam.
Percayalah, kacamata itu akan membantu kita melindung mata dan bukan untuk sekadar bergaya di tanah Saudi ini.
Suhu yang cukup tinggi itu juga “menular” ke suhu air di kamar mandi. Jangan langsung mencuci muka dengan air kran. Namun, tampung dulu air tersebut dan biarkan suhunya normal sebelum dipakai.
Panas juga menular ke tanah yang kita pijak. Saya teringat kisah seorang teman yang baru saja melaksanakan umrah. Saat mengunjungi Masjidil Haram, ia kehilangan sandalnya. Alhasil, ia harus bertelanjang kaki saat kembali ke penginapan. Rasanya? Wah… jangan ditanya.
“Kaki rasanya melepuh karena menginjak tanah yang begitu panas,” kata Nita, teman saya. “Tapi sesampai di penginapan, saya banyak beristighfar. Mungkin ini akibat kelalaian saya juga,” ujar dia.
Tiba-tiba saya teringat cerita seorang kerabat di Tanah Air. Kami biasa memanggilnya Mbah Bu. Ia menuturkan pengalaman berhaji bertahun-tahun lalu. Ketika itu musim haji jatuh sekitar September-Oktober, mirip seperti yang saya alami saat ini. Berarti, cuaca saat itu pun kurang lebih sama karena haji kami jatuh pada saat menjelang musim gugur (jika di Eropa).
“Alhamdulillah saya ndak merasa biasa-biasa saja cuacanya. Yang penting ndak berpikir macam-macam, jalani saja,” kata Mbah Bu yang sehari-hari tinggal di Malang ini. Ya, Malang yang terkenal bercuaca sejuk.
Saya tersentak mengingat nasihat Mbah Bu. Mungkin itulah kuncinya, menjalani ibadah ini dengan ikhlas dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Bukankah Allah saja yang menjadikan segalanya menjadi mungkin?
Astaghfirullah… saya mungkin cemas terlalu berlebihan soal cuaca. Jika cuaca selama beribadah ini terasa tidak nyaman, bisa jadi sayalah yang harus menata ulang niat saya. Tolong saya, ya Allah. Bismillah… Labbaik Allahumma Labbaik…