Senin 16 Sep 2013 23:00 WIB

Teringat 'Black Hole' di Arafah

 Sejumlah jamaah haji berkumpul di puncak Jabal Rahmah saat pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah dekat kota suci Mekkah,Kamis (25/10).    (Hassan Ammar/AP)
Sejumlah jamaah haji berkumpul di puncak Jabal Rahmah saat pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah dekat kota suci Mekkah,Kamis (25/10). (Hassan Ammar/AP)

Oleh Muhammad Subarkah (Wartawan Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, "Seperti apa rasanya Padang Mahsyar?" Jawabnya, sebelum mati pergilah haji dan berwukuflah di Arafah. Di sini, meski masih di atas tanah, panasnya juga tak ketulungan.

Bayangkan saja, kalau jarak bumi ke matahari yang sekitar 149.600.000 kilometer (92,96 juta mil) tiba-tiba dipangkas hingga hanya tinggal sejengkal. Apa jadinya makhluk yang bernama latin Homosapiens ini? Semua jelas akan menjadi sebutir debu atau sekadar zarah (partikel).

"Arafah adalah padang kesadaran," tulis cendikiawan Iran, Ali Syariati, dalam bukunya yang memukau mengenai haji itu. Menurut dia, saat wukuf di Arafah yang dimulai tepat tengah hari tanggal 9 Dzulhijah, di kala matahari bersinar sangat terik, maka carilah kesadaran diri, wawasan, pengetahuan, dan cinta Ilahi.

Dia pun menyerukan agar semua orang yang ada di tempat itu keluar dari tendanya: "Hai manusia, keluarlah dari tenda dan terjunlah ke dalam kesadaran manusia. Biarkanlah 'ego' terbakar terik matahari!"

Kesadaran akan Arafah yang identik sebuah dusun percobaan untuk alam Mahsyar pada hari kiamat memang sudah lama dipompakan dalam pelajaran manasik haji.

Di tempat itulah dahulu Rasulallah SAW mengucapkan khotbah haji wadanya yang sangat fenomenal. Inti pesannya adalah kesucian dan kehormatan Ilahiah dari setiap anak manusia serta pernyataan konkret bahwa semua manusia sama kecuali amal baiknya.

Tapi, di balik seruan khotbah Amirul Haj di Arafah dan di antara dengung talbiah dan zikir, saat itu juga mendenging 'khotbah-khotbah' ilmiah si jenius masa kini, Stephen Walking Hawking, yang telah memopulerkan teori bahwa dunia ini ujung-ujungnya memang akan berakhir dan tersedot ke dalam sebuah lubang hitam: black hole.

Dan, pesan inilah yang kini juga terasa hingga kawasan Arafah. Dunia tetap saja punya umur. Tak ada yang abadi di dunia ini.

Hawking secara jenius mengisahkan bagaimana cara alam ini masuk dalam masa kiamat. Bila saat itu warna matahari sudah berubah merah pertanda siap menjadi bintang mati, daya gravitasinya pun naik berlipat-lipat.

Seluruh planet yang semenjak masa Galileo dan Copernicus dipercayai mengitarinya menjadi tersedot ke arahnya. Dan, sedotan ini makin dahsyat ketika matahari benar-benar menjadi bintang mati. Saat itulah sistem tata surya ini masuk ke dalam lorong yang berwarna gelap. Hawking menyebutnya lubang hitam (black hole). Setelah itu terjadilah ledakan sangat besar: big bang!

Pada menjelang fase itulah, di mana ciri-ciri kiamat seperti yang diwartakan Alquran ketika bumi dan matahari berguncang serta langit runtuh atau matahari tinggal sejengkal dari kepala, terasa bersesuaian dengan pikiran ilmiah.

Stephen Hawking memang hingga kini masih tetap agnostik dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam masalah di alam semesta. Namun, dia ternyata yakin bahwa alam semesta ini pun akan berakhir.

Dalam banyak bukunya, Hawking jelas menyebutkan betapa dahsyatnya kiamat ala black hole itu. Menurut dia, pada suatu waktu ketika di angkasa terjadi sebuah pemusatan masa yang cukup besar, saat itu pulalah muncul sebuah gaya gravitasi yang sangat besar.

Medan gravitasi ini begitu kuat sehingga kecepatan lepas di dekatnya mendekati kecepatan cahaya. Tak ada sesuatu, termasuk radiasi elektromagnetik sekali pun, dapat lolos dari sedotan gravitasinya. Bahkan, cahaya hanya dapat masuk tetapi tidak dapat keluar atau melewatinya. Bumi masuk ke dalam lubang hitam sebelum meledak bersama planet-planet lainnya.

"Saya ingin tahu bagaimana jalan pikiran Tuhan ketika hendak menciptakan alam semesta," begitu kata Hawking ketika ditanya mendiang Paus Johanes Paulus II mengapa sampai sibuk berpikir mengenai soal perlunya mencari tahu tentang eksistensi Tuhan bagi alam semesta. Paus saat itu tidak berkenan ketika Hawking tetap berkeras menyatakan bahwa agama hanya ekspresi dari budaya manusia.

Menyadari semua itu, sembari berzikir dan melihat langit di atas Arafah, maka terbayanglah segala kedhaifan manusia. Melalui dua lembar kain ihram diajarkan bahwa segala kemegahan dunia tak ada artinya bila kiamat tiba. Bayangkan, Hawking meskipun tak percaya Tuhan itu ada, dia sangat yakin bila hari akhir dunia akan terjadi.

Maka, nikmat Tuhan kamu (Allah SWT) yang manakah yang kamu dustakan? (QS ar-Rahman). 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement