REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr. wb
Ustaz, bagaimana hukumnya badal haji, seperti banyak yang dilakukan saat ini?
Ani di Ciputat
wassalamualaikum wr.wb
Ibadah haji fardhu hukumnya dalam Islam. Maka, bila seseorang terhalang menunaikan haji hingga ia wafat maka kewajiban tersebut bisa dilaksanakan oleh orang lain, baik keturunannya atau orang yang dapat dipercaya.
Kegiatan menghajikan orang yang telah tiada atau orang yang sudah tak mampu melaksanakannya sebab udzur ini disebut sebagai badal haji.
Hampir seluruh ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fikihnya al Hajju ‘anil ghoir. Bahkan, dalam pelaksanaan badal haji terdapat dua kondisi yang melatarbelakangi.
Pertama, mayit mampu secara fisik dan keuangan saat ia hidup. Seseorang yang saat hidup mempunyai kesehatan dan dana yang cukup untuk berhaji, namun karena kehendak Allah SWT maka ia tidak mampu mewujudkan keinginannya untuk berhaji.
Dalam kondisi seperti ini maka menjadi kewajiban bagi ahli waris dan keturunannya untuk menghajikan si mayit. Hal ini berdasarkan dalil, “Ada seorang pria datang kepada Nabi SAW seraya berkata, ‘Saat haji difardhukan kepada para hamba, ketika itu ayahku sudah amat sepuh dan ia tiada sanggup menunaikan haji maupun menunggang kendaraan. Bolehkah aku menghajikannya?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu!” (HR Ahmad dan An Nasa’i).
Kalau saja orang tua yang sepuh tidak mampu menunaikan ibadah haji dan menunggang kendaraan, boleh dibadalkan hajinya. Lalu, bagaimana kiranya dengan orang yang kuat dan sehat, namun belum berhaji? Jawabannya, tentu lebih boleh lagi untuk dibadalkan.
Hal ini berdasarkan dalil hadis sahih lain yang menyatakan bahwa ada seorang perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasul, ibuku pernah bernazar mengerjakan haji, namun ia belum menunaikannya hingga wafat, bolehkah aku berhaji untuknya?” Nabi SAW menjawab, “Berhajilah untuk ibumu!” (HR Muslim, Ahmad, dan Abu Daud).
Adapun kondisi kedua, yaitu orang yang semasa hidup tidak mampu atau orang sepuh masih hidup, namun sudah tidak sangup melakukan haji maka badal haji untuk mereka diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang sudah disebutkan di atas.
Lalu, bagaimana tata cara badal haji yang diperkenankan? Pertama, orang yang melaksanakan sudah lebih dulu mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.
Kedua, si pelaksana berniat haji untuk orang yang diwakilkan. Ketiga, diutamakan badal haji ini dilakukan oleh ahli waris ataupun keluarga terdekat. Keempat, bila tidak ada ahli waris yang dapat melakukannya, boleh diamanahkan kepada orang yang dapat dipercaya.
Itulah keterangan yang dapat diberikan soal ibadah badal haji. Dengan mengerjakan ibadah badal haji, pahalanya akan tersampaikan kepada si mayit, juga untuk orang yang melaksanakannya.
Hal terpenting bahwa rukun Islam kelima yang menjadi kewajiban bagi mayit sudah tertunaikan dengan cara badal haji ini.
Ustaz Bobby Herwibowo