REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jamaah calon haji (calhaj) dengan kesehatan berisiko tinggi (risti) jangan sampai keteteran gara-gara ibadah sunnah. Untuk itu, pembimbing ibadah berperan penting dalam mengatasi yang akan memberi informasi agar jamaah menjaga kesehatan dan memprioritaskan diri pada ibadah wajib.
“Pada aspek resiko tinggi, perlu kerja sama yang kuat dengan para pembimbing ibadah,” kata Kepala Bidang Kesehatan Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Fidiansyah kepada Media Center Haji (MCH), Makkah, baru-baru ini.
“Puncak haji adalah wukuf di Arafah. Kalau jamaah sudah letih dan lelah sebelum Arafah-Mina-Muzdalifah (Armina) gara-gara ibadah sunah yang tidak sesuai dengan kondisi kesehatannya, ini tentu akan merugikan jamaah itu sendiri,” jelas Fidiansyah.
Menurutnya, para pembimbing ibadah harus dapat memberikan pemahaman kepada jamaahnya, bahwa periode Armina sangat membutuhkan energi prima sehingga mereka harus menjaga kesehatannya.
“Itulah sebabnya data tahun-tahun sebelumnya menunjukkan angka kematian sangat tinggi di periode Armina dan Pasca Armina,” tambah dia.
Hampir 50 persen jamaah Indonesia berusia 46–60 tahun. Bahkan, lebih dari 20 persen jamaah berusia 61 – 80 tahun. Padahal, usia lanjut menjadi salah satu kriteria jamaah haji yang memiliki kesehatan resiko tinggi, selain tentunya masalah fisik dan psikis seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan lainnya. Dengan kata lain, potensi keberadaan jamaah haji udzur cukup besar.
“Kelompok resiko tinggi sebelum Armina harus betul-betul menjaga kondisinya, cukup istirahat, dan tidak memaksakan diri dalam ibadah sunah,” pesan Fidiansyah.