Selasa 24 Sep 2013 14:30 WIB

'Menanti' Panggilan ke Baitullah

 Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10).  (Hassan Ammar/AP)
Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10). (Hassan Ammar/AP)

Oleh Yeyen Rostiyani (Wartawan Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Tak jarang, saudara, teman, atau rekan kita terlihat berkecukupan soal materi. Tapi, soal haji, kerap kita dengar ucapan, “Belum ada panggilan Allah.”

Apa betul ini semata soal panggilan Allah? Bukankah terpenuhinya semua syarat berhaji sudah berarti itu sebuah panggilan Allah? Tapi, itulah keajaiban hati manusia. Wallahu a'lam.

Saya pun teringat beragam kisah calon haji yang meniti jalan berliku sebelum mereka berangkat ke Baitullah di Makkah.

Tengok saja Siti Khotijah, misalnya. Wanita berusia 75 tahun asal Surabaya ini hidup menumpang pada anak bungsunya. Si bungsu yang guru TK saat ini masih mengontrak. Tapi, anak-anaknya yang begitu berbakti berhasil patungan dan memberangkatkan sang ibu ke Tanah Suci.

Kisah Mubassir beda lagi. Ia harus menunggu 30 tahun menyisihkan uang agar bisa berhaji. Penghasilan kakek asal Nganjuk ini dari berjualan ketela memang tak seberapa. Ada banyak Siti atau Mubassir lain. Tapi, ada benang merah yang menyatukan Siti, Mubassir, dan mereka. Niat kuat untuk berhaji.

Di sisi lain, ada pula orang-orang yang dihidupkan hatinya oleh Allah dalam sekejap. Suwardi, misalnya, mengaku bukan orang yang rajin beribadah, seperti shalat atau puasa. Tapi, “teguran” seorang teman saat ia memasuki masa pensiun membangun kesadarannya. “Pak, apa tidak terpikir untuk naik haji?” Kata sang teman.

Teguran itu menyentaknya. “Padahal, dia non-Muslim. Tapi, dia mengingatkan saya,” tutur kakek berusia 70 tahun ini. Tak lama, dia pun bergegas mendaftar untuk berhaji. Saat itu, masa tunggu haji tak selama sekarang.

Cerita itu mengingatkan saya pada seorang teman. Penulis buku ini “memaksa” dan “mengancam” saya untuk mulai menabung untuk berhaji. “Nanti tuliskan cerita mulai dari menabung sampai berhaji. Kamu harus memberi inspirasi juga bahwa berhaji itu jangan menunggu tua,” kata si Mbak penulis, sebut saja Wati.

Menurut penulis soal traveling ini, perjalanan haji pasti menarik untuk ditulis dan dibaca. “Tapi, saya nggak bisa karena saya bukan Muslim. Kamulah yang bisa,” katanya. Siapa sangka, kini saya insya Allah akan ke Baitullah. 

Atau, ada juga berhaji yang “tak sengaja”. Niat dan tekad belum disusun, tapi ia tiba-tiba mendapat amanah dari tempatnya bekerja untuk bertugas sekaligus berhaji. Seorang teman wartawan, sebut saja Pipit, mengaku pontang-panting membenahi niatnya agar bersih dan lurus. 

“Saya baru diberi tahu bos dua pekan lalu,” katanya saat kami mengurus dokumen haji.

Haji, memang ibadah unik. Di antara lima rukun Islam, hanya haji saja yang wajib dilakukan sekali seumur hidup. Juga, hanya haji saja yang mematok syarat “jika mampu”, barulah sifatnya menjadi wajib dilaksanakan.

Namun, niat dan tekad ternyata bisa mengalahkan kemampuan materi. Jika Allah berkehendak, tak ada yang tidak mungkin. Haji memang istimewa. Menyiapkan niat bersih dan lurus menjadi syarat awal agar ibadah sekali seumur hidup ini tak sia-sia. Ini tidak mudah, tapi bukan mustahil. Ya Allah Sang Pembolak-balik Hati, karuniakanlah kami kebersihan hati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement