Oleh Teguh Firmansyah
REPUBLIKA.CO.ID, Setiap Muslim berharap dapat lebih dekat dengan Allah SWT dan mendapatkan ijabah atas doa yang dipanjatkan saat berhaji. Karena itu, setiap jamaah berupaya melaksanakan ibadah sebanyak dan sekhusyuk mungkin kepada Allah SWT.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhammad Mahfud MD, kepada Republika, menceritakan bagaimana pengalamannya menikmati kekhusyukan ibadah haji di Tanah Suci.
Mahfud mengungkapkan, pertama kali ia menunaikan ibadah haji pada 1995. Keberangkatannya sebagai jamaah haji itu murni berkat upaya dan kemampuan dana yang ia miliki.
Pada saat itu, Mahfud bukanlah pejabat, melainkan pembantu rektor I di Universitas Islam Indonesia. Kesempatan keduanya menunaikan ibadah haji pada 2000, bersama rombongan atas undangan Raja Arab Saudi. Sementara, Mahfud berhaji untuk ketiga kalinya pada 2001, ketika ia telah menjabat sebagai menteri Pertahanan di era Kabinet Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Dari tiga kali pengalaman hajinya itu, Mahfud mengaku, jauh lebih berkesan saat berhaji yang pertama ketika mengumpulkan uang sendiri. “Yang kedua dan ketiga kenikmatan berhaji rasanya kurang, mungkin karena dibayari dan terlalu protokoler,” ujarnya.
Mahfud bahkan mengaku ia bisa mengkhatamkan Alquran setiap tiga kali sehari selama berhaji. Setiap tempat yang dimustajabkan, seperti Raudhah dan Multazam, tidak mau ia lewatkan beribadah dan berdoa di sana. Bahkan, tak terasa dia telah beribadah hingga tengah malam.
“Waktu 1995 itu tempat penginapan tak terlalu jauh dari masjid, sehingga kita bisa jalan kaki sendiri kapan pun kita mau,” tuturnya. Di kesempatan haji pertama inilah Mahfud merasa jiwanya seakan meledak-ledak ingin “bermesraan” dengan Tuhan.
Awalnya, ia merasakan berhaji dengan suasana gembira, bahkan tidak terharu sama sekali. Mahfud pun sempat heran ketika melihat orang menangis di Raudhah atau di Multazam. “Apa sih yang mereka tangisi?” Katanya.
Bahkan, ia sempat tertawa kecil ketika melihat jamaah haji dari Turki menangis karena meratapi perjuangan Siti Hajar mencari air dari bukit Shafa dan Marwah. “Apa mereka baru dengar cerita itu? Itu kan kisah yang diceritakan waktu kecil. Mengapa baru menangis sekarang?” Ia bergumam.
Ia bahkan sempat menertawakan jamaah yang menangis di Makkah. “Ini karena saya tak pernah bisa nangis,” tuturnya.
Namun, setelah itu ia merasakan yang sebaliknya. Saat wukuf di Arafah, entah mengapa Mahfud merasa sangat bahagia, hingga ia tak sadar telah menangis meraung-raung sambil bertakbir. “Istri saya sampai mengoncang-goncang saya, agar saya tak menangis meraung-raung,” ungkapnya.
Ia mengakui selalu sesumbar tak bisa menangis, bahkan menertawakan jamaah yang menangis. Tapi, saat di Arafah ia justru menangis luar biasa. “Menurut saya, itu tangisan nikmatnya ibadah. Ya, semula menertawakan orang nangis, akhirnya menangis sendiri.”
Dari sinilah Mahfud mengakui ada berbagai tanda dari Allah dari doa yang ia sampaikan, hingga menjadi seperti saat ini. “Doa saya, ‘Ya Allah, berilah kemudahan bagi saya dalam menjalankan tugas untuk mengabdi kepada-Mu.’ Itu doa yang saya ucap berulang kali,” ujarnya menambahkan.
Di dalam hati, Mahfud sebenarnya menghendaki karier dan tanggung jawab yang cemerlang dalam tugas. Ia bahkan mengakui sempat terbersit mendapatkan jabatan. Namun, ia malu meminta hal itu dalam doanya. “Saya kira, Tuhan itu bukan kepala biro kepegawaian,” candanya.
Doa-doanya itu tak terucap secara langsung dan hanya terbesit di lubuk hati. Menurut dia, inilah kebesaran Allah yang malah mengabulkan doa hambanya. Sepulang dari haji, ia mengakui karier yang dijalaninya sangat lancar.
“Saya telah menjadi dosen hingga melompat jadi profesor yang ditetapkan oleh negara langsung meloncati empat jabatan sekaligus,” ucap mantan menteri Pertanahan RI era Gus Dur ini.
Tidak lama setelah itu ia pun diangkat menjadi menteri Pertahanan, terpilih menjadi anggota DPR, dan menjadi ketua Mahkamah Konstitusi. Semua itu, ia akui tanpa berjibaku dengan intrik-intrik politik yang keras. Itu kekuatan doa seperti yang dijanjikan Tuhan.