Senin 14 Oct 2013 08:04 WIB

Tiba di Tanah Suci, Namun Terhalang Menunaikan Haji, Bagaimana Hukumnya?

Jamaah Haji Turki (ilustrasi)
Foto: today zaman
Jamaah Haji Turki (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hannan Putra

Sungguh suatu yang tak diinginkan, ketika sudah sampai di Tanah Suci namun terhalang oleh beberapa alasan. Dalam istilah Fiqh, halangan untuk menunaikan haji tersebut diistilahkan dengan hashr.

Hashr (Ar.: al-Hashr) bentuk isim mashdar dan berasal dari fi'il madhl, ha-sha-ra, secara etimologi berarti halangan, kurungan, kepungan, dan tahanan. Menurut terminologi, al-hashr adalah terhalangnya seseorang yang sedang melaksanakan ihram untuk menyempurnakan sesuatu yang wajib baginya disebabkan ihram itu sebelum melaksanakan rukun haji/umrah.

Sedangkan ulama Hanafi mendefinisikan hashr dengan terhalangnya seseorang yang sedang melaksanakan ihram untuk melaksanakan dua rukun haji /umrah, yaitu wuquf dan thawaf.

Penghalang yang menahan orang yang sedang melaksanakan ihram untuk melanjutkan kewajiban haji/ umrah ada dua macam, halangan yang berbentuk syar’iah dan halangan yang berbentuk hissiyah.

Halangan yang berbentuk syar’iyah yaitu terhalangnya seseorang untuk menyempurnakan haji/umrah disebabkan oleh faktor- faktor individual seperti seorang wanita yang kehilangan muhramnya (suami- nya) setelah memasuki ihram karena meninggal atau menceraikannya.

Demikian juga dengan seseorang yang kehabisan biaya untuk menyempurnakan haji, sementara ia tidak mampu dari segi fisik, Sedangkan halangan yang berbentuk hissiyah yaitu tertahannya seseorang untuk menyempurnakan haji karena faktor alami, seperti orang yang disandari, ditahan atau dikepung oleh penjahat (musuh), sehingga la terhalang untuk menyempurnakan Ibadah haji. Dan begitu pula dengan orang yang tertahan ihramnya karena suatu penyakit.

Hukum hashr dalam Islam termaktub dalam surat alBaqarah (2) ayat 196, “Jika kamu terkurung terhalang oleh musuh atau karena penyakit, maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur rambut sebelum sampai dl tempat penyembelihannya. Jika ada dl antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atas kamu berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari pada masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah).”

Bila orang yang melaksanakan ihram haji terhalang oleh musuh, maka ia wajib bertahailul. Musuh itu tidak boleh diperangi, bila mereka dari golongan orang Islam. Tetapi bila musuh yang menghadang jalan itu adalah orang musyrik, maka harus diperangi jika ia melawan (menyerang).

Jika ia  tidak menyerang, orang melaksanakan ihram pun tidak boleh menyerang mereka. Perlawanan antara orang yang melaksanakan haji dan musuh yang menghadang harus melihat kondisi kekuatan keduanya, bila ummat Islam lemah sementara musuh leblh kuat, baik dari personil, jumlah maupun senjata, maka sebaiknya perang dihindari demi menjaga pertumpahan darah di kalangan ummat Islam.

Sebaliknya, bila kekuatan ummat Islam leblh kuat, maka penyerangan terhadap musuh ini dilaksanakan dalam rangka membela agama Islam agar Ibadah haji dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna.

Jika yang menghalangi perjalanan haji adalah musuh atau orang kafir yang menuntut agar harta diserahkan, maka tuntutan itu tidak wajib dipenuhi. Sebagian ulama mengatakan makruh hukumnya memberi harta pada penghalang tersebut, karena mereka telah meremehkan kekuatan ummat Islam.

Salah satu solusi agar keluar dari halangan dalam haji dengan mencari jalan alternatif lain supaya dapat mencapai tujuan kesempurnaan ibadah haji, meskipun jalan alternatif itu Iebih jauh. Namun, bila jalan alternatif tidak ditemukan, maka terpaksa orang yang terhalang (muhshar) menghentikan hajinya/umrahnya sampai sebatas itu. Pada mereka (muhshar) dikenakan beberapa kewajiban. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat Albaqarah (2): 196 di atas.

Namun fuqaha berbeda pendapat dalam memahami cakupan ayat 96 surat Albaqarah ini. Pertama, siapakah yang termasuk golongan orang yang terkurung dalam ihram? Menjawab persoalan ini, Syafi'iyah berpendapat bahwa orang yang terkurung dalam ihram di sini adalah orang yang terkurung oleh musuh. Mereka memahami bahwa maksud firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 176. Jika ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya. Dan orang yang terkurung oleh musuh, sehingga ia tak bisa menyempurnakan haji/umrah.

Jika memang yang dimaksud dengan orang terkurung di sini orang yang sakit, maka Allah tidak akan menyebutkan kata “gangguan (penyakit)” setelah itu, karena gangguan (penyakit) merupakan bagian dari keumuman kata penyakit. Pendapat ini didukung pula firman Allah,

“Apabila kamu (merasa) aman, maka bagi siapa ingin mengerjakan umrah sebelum haji ,”  (AlbBaqarah (2); 196).

Kata “aman” pada ayat 196 surat Albaqarah ini sebagai dilalah isyarat, bahwa memang terkepung oleh musuhlah yang dimaksud oleh Allah.

Menurut ulama Hanafi, kata muhshar berasal dari kata ushiRA Kata ini selalu dihubungkan dengan penyakit. Seperti ungkapan Ahsharahu al-maradhu (ditimpa penyakit).

Penyebutan terkurung oleh penyakit dan gangguan dl kepala dalam ayat 196 surat Albaqarah, Allah maksud kan untuk membedakan dua jenis penyakit. Penyakit yang menyebabkan orang tidak mampu melanjutkan aktivitasnya dalam melaksanakan ihram dan penyakit yang tidak mengikat seseorang untuk melaksanakan haji/umrah.

Maksud ayat 196 surat Albaqarah, yaitu orang yang terkurung oleh penyakit, pendapat ini juga ditopang pula oleh kata “aman” dalam ayat tersebut, orang yang telah aman (sehat) dari penyakit yang dideritanya.

Menurut jumhur fuqaha’, halangan melaksana kan haji dalam surat Albaqarah (2) ayat 196 bersifat umum, keumuman tersebut mencakup orang yang ter-halang menyempurnakan haji karena suatu penyakit dengan orang yang terhalang oleh musuh.

Kedua, ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang terhalang (muhshar) untuk menyempurnakan haji /umrah.

a. Terhalang (Ihshar) karena musuh.

Jumhur Fuqaha sepakat bahwa terhalang (muhshar) karena musuh harus menghentikan haji/ umrah yang sedang dijalaninya di tempat ia terkepung. Pada orang tersebut (muhshar) diwajibkan bertahallul. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah orang yang telah bertahallul karena terhalang melaksanakan haji dan umrah harus menyembelih hewan qurban atau tidak? Jika wajib, di mana tempat penyembelihan dilaksanakan?

Kemudian. Apakah orang terhalang tersebut wajib mengulang (mengqadha) haji dan umrahnya kembali? Menurut Imam Malik tidak diwajibkan bagi orang yang terhalang (muhshar) untuk menyembelih binatang qurban, dan jika ia membawa hewan qurban, maka ia boleh menyembelihnya di mana saja, karena penyembelihan itu tidak merupakan kewajiban.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib bagi orang yang terhalang dalam melaksnakan haji dan umrah untuk menyembelih binatang sembelihan. Pendapat ini berargumentasi dengan ayat 196 surat Albaqarah.

Ayat tersebut berlaku umum dan di dalamnya terdapat ketentuan tentang kewajiban untuk menyembelih hewan qurban Sedangkan tempat menyembelih hewan qurban, menurut Abu Hanifah, harus dilakukan di tanah haram. Pendapat ini berdasarkan surat al Fath (48): 25;

“Merekalah orang-orang kafir yang meghalangi kamu dari Masjidil Haram, dan menghalangi hewan qurban sampai ke tempat (penyembelihannya, tanah haram).”

Namun bila tidak bisa dilaksanakan penyembelihan hewan qurban di tanah haram, boleh dilaksanakan di mana saja. Kebolehan penyembelihan di tanah halal (di mana saja) di sini diungkapkan ulama Syafi’iyah.

Mengenai kewajiban untuk mengulangi kembali (mengqadha) haji dan umrah yang tidak sempat dilaksanakan karena ada halangan (hashr) terdapat dua pendapat ulama. Pertama, menurut Imam Malik, tidak wajib qadha haji/ umrah yang tidak dilaksanakan, karena hashr. Pendapat ini berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa,

“Sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabatnya bertahallul di Hudaibiyah, maka merekapun menyembelih hewan qurban, men-cukur kepala mereka dan bertahallul dari segala sesuatu sebelum Rasulullah melaksanakan tawaf di Baitullah dan sebelum hewan qurban sampai kepadanya.”

Kemudian tidak terdapat ketentuan dari Rasulullah SAW tentang kewajiban mengqadha haji dan umrah karena hashr. Kedua, Imam Hanafi berbeda pendapat dengan Imam Malik, ia mengatakan bahwa jika orang yang terhalang itu dalam ihram, maka harus mengulangi haji dan umrah, jika ia berihram umrah, maka ia mengqadha umrahnya.

Hanafi berargumentasi dengan hadis,“Sesungguhnya Rasulullah SAW berumrah pada tahun berikutnya dari tahun Hudaibiyah sebagai qadha’ terhadap umrah tersebut (yakni umrahnya tertinggal ketika terkurung/terhalang)”.

Oleh karena itu bagi umrah orang yang terhalang, wajib baginya mengqadha umrahnya kembali.

b. Terhalang (Ihshar) karena penyakit

Syafi’iyah dan ulama Hijaz berpendapat bahwa orang yang terhalang (muhshar) karena penyakit tidak boleh bertahallul kecuali ia melaksanakan thawaf di Baitullah dan sa’i antara Safa dan Marwah, karena apabila ia ketinggalan haji disebabkan Iamanya sakit, maka haji itu berubah menjadi umrah

Sedangkan menurut ulama Irak, orang yang terhalang (muhshar) karena penyakit sama hukumnya dengan orang yang terhalang karena musuh, ia wajib bertahallul pada hari ketiga dan wajib pula menyembelih binatang qurban.

Pendapat ini sesuai dengan hadis dari al Hajjar bin Amr al Anshari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang patah (kaki atau (ainnya) atau pincang, maka ia wajib bertahallul, dan wajib pula atasnya mengqadha haji.”

Sementara kalangan fuqaha’ sepakat bahwa orang yang terhalang karena penyakit wajib qadha haji/ umrah yang ditinggalkannya.

c. Terhalang karena hal-hal tertentu selain penyakit dan musuh

Imam Malik menyamakan hukum orang yang terhalang karena hal-hal selain penyakit dan musuh, baik karena salah menghitung hari atau iainnya, dengan hukum orang yang terhalang karena penyakit.

Kewajiban bagi orang yang berhalangan karena penyakit di- wajibkan pula padanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah orang yang tertinggal hajinya karena alasan selain sakit dan musuh, diwajibkan atasnya bertahallul dengan umrah dan tidak diwajibkan padanya untuk menyembelih binatang qurban, tetapi ia harus mengulangi hajinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement