REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nur Hasan Murtiaji, wartawan Republika dari Makkah
MAKKAH -- Jalannya tak lagi normal seperti biasa. Telapak kakinya diseret. Gerakannya pun lamban. Kalau disebut pincang, mungkin istilah itu berlebihan. Jawaban saya, urat kaki terkilir.
Terus terang semula saya tak percaya. Kejadian ini menimpa diri sendiri. Biasanya menyaksikan jamaah haji Indonesia yang berhenti sambil mengurut-urut lengan kaki atau mengibas-ibaskan kakinya di terowongan Muaisim menuju maktab, sambil saya senyum-senyum simpul. Kali ini itu saya alami sendiri.
Apa yang saya alami bermula dari kesepakatan kawan-kawan Media Center Haji (MCH) untuk tawaf ifadhah. Selesai mabit di Mina pada Selasa (15/10) malam hingga Rabu (16/10) dini hari, kami bersepakat berangkat dari kantor Daker Makkah pukul 03.00 Waktu Arab Saudi (WAS). "Kita Shalat Subuh di Masjidil Haram saja," kata Kasi MCH Daker Makkah Khoiron Durori.
Berangkat bersama 18 orang lainnya, kami jalan kaki menuju Haram pukul 03.30 WAS. Saat itu kami baru tiba di kantor Daker Makkah dari mabit di Mina sekitar pukul 02.30 WAS. Berjalan beriringan, jalanan Kota Makkah yang waktu itu banyak terserak sampah botol minuman dan plastik, tak kami pedulikan. Sesekali sapuan angin berdebu menyapu mata. Cuaca saat itu cukup bersahabat di kisaran 32 derajat Celcius.
Menembus terowongan Syib Amir sepanjang sekilometeran, kami pun sampai di pelataran Masjidil Haram sebelah timur. Usai berkoordinasi sebentar, karena ada yang mengambil wudhu, lantai dua kami putuskan tempat untuk berkumpul. Sengaja dipilih dekat dengan dimulainya garis tawaf. Shalat Subuh selesai, tawaf kami mulai.
Kaki mulai terasa susah diajak jalan saat putaran ketiga. Bagian luar telapak kaki seperti kesemutan, jalan jadi seolah pincang. Tak peduli atas kondisi kaki, selesai tujuh putaran. Ketika itulah baru terasa sakitnya. Sambil berdoa di Makam Ibrahim, pelan-pelan kaki saya urut. Alhamdulillah ada perubahan.
Berjalan dengan dipaksakan, Sai saya tunaikan. Sekali lagi, dengan izin-Nya, Safa-Marwah bolak-balik tujuh kali bisa saya jalani. Permasalah baru muncul selepas itu.
Saat mendapatkan taksi untuk pulang ke kantor daker, Khairul Habiba dari Harian Pelita tak tampak. Padahal, ber-15 kami sudah di dalam mobil. Dua kali kami cari, Khairul juga tak kelihatan di sekitar titik kumpul.
Akhirnya, khawatir sang sopir marah-marah yang berujung kami diturunkan, Khairul kami tinggalkan. Hampir 40 menit perjalanan kami tempuh di bawah terik mentari Kota Makkah yang 42 derajat. Lelah dan kaki yang terkilir, membuat saya tertidur, sambil berharap bangun sudah di depan kantor dan langsung rebah di kasur. Rasanya enak angan-angan itu.
Boro-boro kasur yang ditemui, kami ternyata diturunkan sang sopir di daerah Aziziyah. Kantor daker di daerah Syisya. Dari mbah Google Map, butuh waktu 1,5 jam jalan kaki dari lokasi kami di Faisaliyah Tunnel ke kantor daker. Pening serasa membayangkan jarak tempuh itu. "Sebenarnya nggak masalah jalan kaki, asalkan kaki saya normal," kata saya ke Dika Kardi dari Media Indonesia dan Ahmad Zaenal dari TVOne.
Dari semula ber-15 orang, karena ada kawan yang juga kakinya lecet, akhirnya kami terpecah tiga kelompok kecil. Sepuluh orang berjalan menembus terowongan Faisaliyah dengan harapan belok kiri bisa sampai terowongan King Fahd arah kantor daker. Sedangkan dua orang lagi tertinggal di belakang. Ingin menemani keduanya, saya, Dika, dan Zainal kembali ke tempat mereka di bawah jembatan.
Setiba di lokasi itu, kami bertiga tak menjumpai keduanya. "Mungkin sudah naik angkot," kata Dika. Cenut-cenut di kaki kiri saya mulai terasa lagi.
Panik. Bayangan kesasar pun menyergap alam pikiran saya. Di tengah sengatan mentari, saya tutupi kepala dengan saputangan. Alhamdulillah, setruman panas mentari itu berkurang.