Sabtu 19 Oct 2013 01:01 WIB

Lost from Kabah (habis)

 Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10).  (Hassan Ammar/AP)
Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10). (Hassan Ammar/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nur Hasan Murtiaji, wartawan Republika dari Makkah

MAKKAH -- Sekali lagi kami buka mbah Google Map. Dika Kardi dari Media Indonesia dan Ahmad Zainal dari TVOne mengamati layar android seukuran telapak tangan itu. Menggeser-geser mencari lintasan terpendek ke lokasi kantor Daker Makkah. Tentu sambil berlindung di balik bayangan gardu listrik.

Merasa kepanasan, Zainal melepas rompi. Kini kameraman TVOne itu hanya memakai kaus. Sedangkan Dika menyelempangkan kafiyeh ke kepalanya. Karena hanya membawa handuk kecil, kepala saya tutupi dengan itu.

Setelah membanding-bandingkan, diputuskan jalan kaki melalui kawasann dalam perumahan warga. Dalam kondisi puncak haji, naik mobil memang tak menjamin lebih cepat sampai. Lalu lintas Kota Makkah yang macet dan semrawut, parkir seenaknya, terkadang membuat berjalan kaki jadi pilihan, meski jaraknya jauh. "Kita lewat dalam aja, lebih adem," kata Zainal.

Lantaran kaki sakit, saya berjalan paling bontot. Sesekali menahan nyeri saat sandal menginjak kerikil. Sementara, terik mentari yang berada di atas ubun-ubun terus menyengat tak kenal kompromi. Tanda sebentar lagi masuk waktu Dzuhur. Di jalanan perkampungan Aziziyah itu, banyak orang Turki kami temui. "Mungkin mereka pemondokannya di sini," kata Dika.

Hingga kemudian, wajah khas Indonesia kami temui. Mengenakan baju seragam, sepertinya dia seorang karyawan restoran. "Orang Indonesia ya?" Tanya Zainal. Dia mengangguk membenarkan. "Kalau mau ke Terminal Saptco di Jamarat bisa lewat sini?"

"Bisa, bapak tinggal ikuti aja jalan ke sana," sembari tangannya menunjuk arah bukit batu. Sekali lagi kaki cenut-cenut. Membayangkan jalan kaki melintasi bukit nan tinggi. "Astaghfirullah, kuatkan saya," saya membatin.

"Jangan sungkan bertanya kalau tidak tahu pak," katanya. Lagi-lagi saya bergumam, iya kalau yang ditanya bisa menjawab dalam bahasa Inggris. Akhirnya mengikuti saran orang tadi, kami berjalan menyusuri wilayan permukiman Aziziyah. Sesekali sekelompok orang bertampang Arab duduk-duduk santai di bawah tenda darurat. Mereka kelihatan menikmati betul semilir panas mentari.

Hingga akhirnya terdengar azan Dzuhur. Saat itulah melintas taksi. Dikemudikan sopir berkewarganegaraan India, taksi itu menepi saat kami melambaikan tangan. "Two hundred," jawabnya ketika ditanyakan berapa ke wilayah King Fahd road. Kami pun pergi meninggalkannya karena sang sopir tak mau turun harga. Pertimbangan macet parah juga menjadi alasan lain kami.

Perjalanan dilanjutkan. Sampailah di sebuah masjid. Sekalian istirahat, kami putuskan shalat dulu. Alhamdulillah, kami bisa melepas penat, meluruskan kaki, dan berteduh. Ternyata di situ kami bertemu warga Tangerang, Banten, yang berprofesi sebagai driver sejak tiga tahun lalu.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul tentang kiprahnya di Saudi, kami pun mengungkapkan jika terpisah dari rombongan. "Dari sini ada jalan ke Terminal Jamarat?" kata Zainal.

"Nanti di belokan kedua, ambil kanan. Terus saja Pak Haji," kata TKI ini. Selesai bersalam-salaman, petunjuknya kami ikuti. Kembali terik matahari menerpa kulit wajah. Kali ini tak kami pedulikan itu.

Kami cek lagi di Google Map. Memang bisa juga tembus ke King Fahd road. Namun untuk sekarang waktu tempuh tak kami cek, khawatir meruntuhkan moral. Dua kali kami berpapasan dengan orang Indonesia. Yang pertama satu keluarga sedang kemah di sebuah halaman, yang kedua seorang pemuda berdialek Sunda sedang duduk-duduk ditemani dua pemuda Arab. "A, minta korek dong?" sapa dia.

Korek yang dimaksud dia adalah rokok. Kebetulan, Dika yang 'ahli hisap' tak membawanya. Secara halus kami sampaikan sedang tak membawa rokok. "Naik saja tangga itu, terus cari jalan yang turun," katanya seolah mengerti kami sedang mencari jalan.

Tepat di hadapan memang ada anak tangga yang lumayan curam. Lagi-lagi saya menghela napas. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan pada saya. Tak hanya kaki kiri yang cenat cenut, saat itu telapak kaki kanan sudah terlihat bengkak. Tanda ada urat yang keseleo.

Masalahnya, Zainal sudah tak lagi bersama kami. Dia berjalan cepat mendahului. "Semoga dia di arah yang benar," kata Dika.

Hup, pelan-pelan saya naiki anak tangga demi anak tangga. Beberapa kali kami bertemu warga Indonesia. Hingga sampailah di atas. Ternyata di situ merupakan terminal bus pengantar jamaah haji rute Mina-Haram bolak-balik.

Seperti sebelumnya, di persimpangan yang meragukan, kami cek Google Map. "Setengah jam lagi," kata Dika. Hati saya berbunga-bunga, berharap segera berada di depan kantor daker.

"Setelah melewati Bin Dawood kecil, tinggal sedikit lagi," kata Dika memberi harapan. Dua telapak kaki saya sekarang benar-benar sakit. Terutama ketika telapak kaki bersentuhan dengan jalan.

Terlihatlah terminal bus Saptco di sekitar Jamarat. Daerah ini menjadi tempat kami biasa turun sepulang dari Masjidil Haram lewat terminal Bab Ali. Alhamdulillah. Plong rasanya. Tinggal 15 menit lagi sudah sampai di kantor daker.

Berangkat dari kantor pukul 03.30 Waktu Arab Saudi (WAS), sampai pada pukul 15.05 WAS. Kurang lebih 12 kilometer kami tempuh. Ditambah belum sarapan, cuma biskuit sedekah pemberian Pramuka yang kami konsumsi.

Ternyata kawan-kawan yang melalui terowongan Faisaliyah lebih dulu sampai satu jam sebelumnya. "Meski sempat diusir asykar juga pas berteduh di dekat terowongan," kata Ramelan dari Radio Elshinta.

Anehnya, Zainal yang mendahului kami berdua belum sampai. Ternyata dia nyasar kedua kalinya. "Saya malah menjauh menuju Mahbas Jin. Akhirnya ke kantor sektor 2, minta informasi," katanya. Setengah jam kemudian dia sampai di kantor daker. Saya pun langsung rebah dan istirahat pulas.

Terbayang betapa banyak jamaah haji yang mengalami kesasar mirip saya. Sewaktu di ujung terowongan Muaisim, ada lima orang yang sejak Subuh berangkat dari maktab, baru Maghrib sampai di tendanya di Mina. Melontar jumrah selesai Subuh, dilanjutkan kemudian dengan tawaf ifadhah ke Masjidil Haram. Berjalan kaki karena tidak angkutan saat prosesi puncak haji.

Paham sekarang saya mengapa tak sedikit jamaah yang marah-marah ketika diberi tahu rute jalan yang benar. Panik, panik, dan panik menjadi awal jamaah bisa tersesat lebih jauh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement