REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Pada Senin (1/9) kemarin, saya dan 27 petugas PPIH berada dalam satu kendaraan bus mini. Ada tiga bus mini dan dua mobil pribadi yang berangkat dari hotel tempat kami menginap menuju bandara untuk menyambut jamaah haji Kloter 1.
Mobil paling depan terdapat Kepala Daker Jeddah Ahmad Abdullah Yunus. Pengecekan pertama dilakukan petugas keamanan dalam (amdal) berpakaian militer warna coklat loreng dengan pistol laras pendek di pinggang di pos kecil yang berjarak 100 meter dari pos utama check point utama.
Di pos pertama ini, petugas PPIH yang menumpang bus mini hanya diminta menunjukkan tasrekh. Lolos dari pos ini, kendaraan melaju ke pos utama. Ada empat loket dan dijaga sekitar empat petugas berpakaian sama, namun memakai baret merah.
Tiba di pintu pengecekan utama, Kepala Daker terlihat menunjukkan surat-surat masuk rombongan PPIH serta surat dari Kantor Teknis Urusan Haji (TUH) Indonesia di Arab Saudi. Kami yang berada di bus paling akhir berharap-harap cemas. Di titik ini, istilah ketat dan sulit-sulit gampang.
Birokrasi petugas keamanan bandara di Bandara KAIA ini tidak seperti beberapa bandara di Indonesia yang sering saya singgahi selama bertugas liputan. Meski sudah dibelaki surat dari Kantor TUH, bukan jaminan calon penumpang atau rombongan bisa masuk dengan mudah.
Bila perasaan hati si petugas sedang enak, calon penumpang pesawat, pengantar ke bandara atau petugas penjemput jamaah haji akan mudah masuk bandara, kendati tetap dicek secara ketat.
Namun, jika suasana hati si petugas sedang tidak enak atau kesal karena sesuatu hal, mereka akan memeriksa calon penumpang dengan super ketat.
Disebut sulit-sulit gampang karena petugas tidak hanya minta menunjukkan kartu tasreh atau pass masuk bandara.
"Petugas yang hatinya sedang kesal ini bahkan minta calon penumpang atau yang hendak masuk bandara untuk menujukkan iqoma (semacam KTP) serta bertanya satu per satu ke penumpang.