Selasa 09 Sep 2014 06:00 WIB

Berdepan-depan di Ka'bah Bersama Jokowi

M Subarkah
Foto: Dokpri
M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, pengamat haji

''Capek bukan main. Tiga malam saya tak tidur!'' Pernyataan ini dikatakan seorang wartawan senior ketika menceritakan pengalamannya pergi umrah bersama Joko Widodo (Jokowi) beberapa hari menjelang Pilpres 2014. Sang wartawan ini ditugasi kantornya untuk meliput seluruh aktivitas mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Kebetulan selama ini dia bergelut dalam isu politik. Wilayah liputannya adalah di Gedung Parlemen Senayan Jakarta.

Menurut dia, persiapannya untuk ke Ka'bah bersama Jokowi memang telah diketahuinya sebelum ajang debat presiden periode terakhir. Dan, Jokowi menyelesaikan debat itu beberapa saat menjelang tengah malam, 5 Juli 2014. Beda nasib dengan Jokowi yang setelah debat selesai dia kemudian bisa pulang untuk istirahat, si wartawan ini malah dikejar deadline  untuk segera menyelesaikan penulisan berita acara itu.

''Praktis saya baru bisa pulang sekitar pukul 02.00 dini hari. Sampai di rumah sekitar satu jam kemudian,'' kata si wartawan yang mengaku tinggal di kawasan pinggiran ibu kota.

Sesampai di rumah dia pun tak sempat tidur lagi. Dia harus berkemas mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa untuk meliput peristiwa umrah bersama rombongan Jokowi tersebut. Apalagi pada sore hari sebelumnya dia pun sudah diberi pemberitahauan dari pihak kepala rombongan umrah itu  agar sudah berada di bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 10.00 WIB. Maka supaya aman, dia memustuskan berangkat pagi-pagi sekali, mengingat jalanan Jakarta pada saat itu dipastikan akan selalu macet secara luar biasa. Dia khawatir waktu tempuh perjalanan dari rumah ke bandara akan memakan molor waktunya, hingga lebih tiga jam. Dengan demikian wartawanan ini pun hanya bisa 'tidur ayam', baik tidur sebentar di rumah atau tidur dalam mobil ketika ke bandara.

Kerasnya tekad untuk ikut rombongan Jokowi ini dibuktikan saat dia bisa memenuhi  perintah kepala rombongan, agar sudah sampai di bandara puul 10.00WIB. Apalagi dia pun merasa sudah siap mental untuk begadang karena dalam briefing kepada wartawan dia pun sudah dipesan bila ingin ikut rombongan umrah itu, maka harus siap tidak tidur cukup. Pesan itu  juga ada tambahannya: maka pintar-pintarlah mencari kesempatan tidur!

''Akibat pesan itu, maka saya sudah punya rencana, begitu naik mobil atau dalam pesawat saya harus bisa tidur. Sayangnya ketika dipraktikan hal itu ternyata susah sekali,'' katanya.

                                                                      *********

Setelah semua tiba di Bandara Soekarno Hatta, maka sekitar pukul 11.30 WIB rombongan Jokowi masuk ke pesawat. Pesawat ini milik maskapai Garuda yang setiap hari melayani penerbangan Jakarta-Jeddah. Si wartawan duduk di kelas ekonomi sedangkan Jokowi bersama keluarga serta 'pihak rombongan inti' lainnya, berada di kelas bisnis.

''Seingat saya pesawat yang kami pakai bukan Air Bus super jumbo yang dua lantai. Ini kayaknya Boeing yang biasa,'' katanya. Memang, selain menjelang tengah hari, setiap sore juga ada satu pesawat Garuda lagi yang secara reguler melayani penerbangan Jakarta-Jeddah. Kadang pesawat super jumbo kerap dipakai. Namun, kali ini pesawat dengan kapasitas 700 penunmpang itu tak digunakan. Dan, di dalam pesawat rombongan Jokowi ini berbaur dengan penumpang biasa.

Setelah terbang langsung selama 9 jam, pesawat itu kemudian mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia. Karena selisih waktu Jeddah dengan Jakarta sekitar  empat jam, maka waktu itu sudah menjelang maghrib. Dan seusai menuntaskan soal imigrasi bandara, sekitar pukul 18.00 Waktu Arab Saudi (WAS) rombongan kemudian dibawa ke sebuah hotel di Jeddah untuk transit. Disitu mereka pun melakukan buka puasa, membersihkan diri, dan beristirahat sejenak. Pada saat itu mereka juga dianjurkan segera mengenakan pakaian ihram. Mereka akan mengambil 'mikat' dari arah Jeddah saja.

Rombongan umrah itu kemudian beranjak dari hotel transit tersebut menuju ke Makkah sekitar pukul 22.30 WAS. Si wartawan yang baru pertama kali datang ke Makkah itu pun segera naik dan kemudian berusaha tidur di dalam bus yang menuju Makkah itu. Tapi mata tak kunjung bisa terpejam. Apalagi dia pun ingin melihat suasana perjalanan ke Makkah yang dilazim ditempuh sekitar 1,5 jam.

''Tapi menjelang masuk Makkah, kami dihadang kemacetan yang akut karena baru saja bubaran shalat tarawih di Masjidil Haram. Kebetulan saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga jalanan menuju Makkah penuh sesak. Untungnya kepala rombongan bisa melobi polisi, sehingga kami bisa menyelinap masuk ke hotel dekat Masjidil Haram melalui jalan yang sebenarnya tak boleh dilewati. Meski begitu, kami baru sampai di hotel lepas tengan malam, sekitar pukul 00.15 WAS,''kata si wartawan.

Meski sudah sampai di hotel yang persis di pelataran Masjidil Haram, kecuali Jokowi dan keluarganya, seluruh rombongan ternyata belum bisa langsung masuk ke dalam kamar. Pihak petugas umrah meminta agar tas dan barang bawaan dititipkan saja di lobby hotel. Rombongan diminta segera bersiap saja untuk langsung melakukan umrah karena saat itu sudah mengenakan ihram.

Tak lama kemudian, menjelang pukul 01.00 dini hari  WAS, Jokowi ke luar dari kamar hotel. Rombongan yang sudah menunggu di lobi segera berangkat bersama menuju masjdil Haram untuk melakukan rangkaian ibadah umrah, seperti tawaf, sa'i, hingga tahalul. Mereka berjalan dengan bergegas menuju pelataran Ka'bah untuk tawaf.

''Kami berjalan dengan langkah terburu. Untuk minum sendiri air zamzam yang tersedia dalam berbagai tabung dan gelas plastik yang ada di kiri-kanan lorong yang hendak menuju tempat tawaf pun tak sempat. Untungnya, para petugas umrah sigap meayani kami. Mereka akan segera mengamblkan air zamzm begitu kami memintanya. Jadi tak ada waktu untuk berleha-leha menikmati Ka'bah,'' ujarnya.

Seusai tawaf dan melakukan shalat sunnah di depan Multazam, rombongan kemudian melakukan sa'i. Dan setelah bolak-balik selama tujuh kali berjalan antara bukit Shafa-Marwah dan diakhiri dengan doa bersama sehabis sa'i, maka rombongan segera melakukan tahalul atau memotong rambut.

''Jadi kami usai melakukan umrah sekitar pukul 04.00 pagi, atau menjelang imsak. Setelah itu rombongan kembali ke hotel untuk istirahat, makan sahur, dan shalat subuh. Syukurlah, saat itu terutama setelah melakukan lari-lari kecil di Sa'i tubuh saya terasa fit kembali. Entah mengapa itu? Atau mungkin karena keringatan karena berjalan sembari sesekali berlarian,'' cerita sang wartawan.

Namun setelah Subuh tiba, pada saat yang sama sang wartawan harus segera menuliskan berita mengenai peristiwa umrah tersebut. Apalagi waktu di Jakarta saat itu sudah menjelang pukul 08.00 pagi. Sebagai wartawan kantor berita maka dia harus segera melaporkan berita pada saat itu juga.Maka kini dia pun sibuk menulis dan mengirimkan berita ke Jakarta.

''Kalau begitu apakah sempat shalat Subuh di Masjidil Haram?'' Menjawab pertanyaan ini sang wartawan menjawab dengan menggeleng kepala. Dia mengaku tak berani ke luar kamar  hotel karena pada saat yang sama dikejar deadline (tenggat waktu). Jawabnya:''Ya sayang memang tak sempat subuhan di Masjdil Haram. Saya shalat subuh di kamar hotel. Saya kerja menulis sampai pukul 07.00 WIB. Dua jam berikutnya saya pakai untuk istirahat dan mandi sejenak. Kami tak berani tidur lelap karena takut ketinggalan rombongan.''

Benar saja sekitar pukul 09.30 WAS semau rombongan sudah diminta berkumpul di lobbi hotel. Satu jam kemudian romboongan berbalik pulang ke Jeddah dari Makkah. Mereka sampai ke Jeddah sekitar pukul 11.30 WAS. Setelah itu rombongan naik pesawat carter menuju Madinah untuk berziarah ke makam nabi dan shalat di Raudah Masjid Nabawi.

Lalu sekitar pukul 13.00 WAS rombongan Jokwoi itu sampai ke Masjid Nabawi. Mereka kemudian langsung shalat di Raudah dan mengunjungi makam Rasullah SAW. Rombongan berada di tempat itu sampai pukul 16.00 WAS.''Wah shalat dan berada di Raudah saat itu rebutan juga. Masjid memang penuh sesak. Begitu juga ketika hendak ziarah ke makam nabi, semuanya juga harus antri yang cukup panjang. Ya rasanya memang masih serba tergesa-gesa.''

Seusai melakukan shalat di Raudah dan melakukan ziarah ke makam Rasulullah, ketika matahi mulai beranjak ke barat, rombongan kembali ke bandara untuk balik ke Jeddah. Perjalanan ini pun dilakukan dengan kembali naik pesawat carteran yang memang menunggu mereka di Bandara Madinah. Dan menjelang Maghrib mereka sudah sampai kembali ke Jeddah. Selanjutnya tinggal menunggu penerbangan Jeddah-Jakarta yang akan dilakukan sekitar pukul 21.00 WAS.

''Kami pulang dengan pesawat Garuda kembali. Kami tiba di Jakarta sekitar pukul 09.00 WIB. Jadi kami melakukan umrah selama tiga hari dua malam malam saja. Ini jelas pengalaman luar bisa. Dan yang luar biasa juga termasuk capeknya,'' tegas sang wartawan.

                                                                      *********

Dan, setelah itu beberapa hari kemudian pencoblosan Pilpres 9 April 2014 dilakukan. Selanjtnya, beberapa pekan kemudian, yakni pada 22 Juli 2014, KPU menetapkan diri Jokowi sebagai pemenang. Akhirnya, sekitar satu bulan kemudian, tepatnya 21 Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangkan gugatan sengketa Pilpres yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.

Kini, Jokowi sebentar lagi akan resmi menjadi Presiden RI menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi peristiwa ke Makkah dan Madinah untuk umrah yang begitu singkat --masing-masing hanya disinggahi beberapa jam saja -- begitu melekat pada wartawan yang ikut rombongan tersebut.

''Apakah umrah itu pencitraan?'' ketika ditanya soal ini, sang wartawan kembali menggelangkan kepala.''Saya tak tahu. Inamal 'amalu binniyat (amal itu trgantung pada niyatnya). Saya tak tahu isi hati Pak Jokowi. Wallahu 'alam!,' jawabnya enteng.

Tapi bila mengaca sejarah, soal legitimasi Makkah pada 'udara' perpolitikan Indonesia sudah terjadi semenjak zamann dahulu kalla. Pada 1638 utusan Raja Banten dan juga Raja Mataram (1939) sempat ke Makkah hanya untuk meminta izin kepada 'syarif Makkah' agar rajanya berhak memakai gelar 'Sultan' seperti para penguasa di Kerajaan Turki.

Di zaman Indonesia merdeka, yakni pada akhir Orde Baru, Presiden Suharto juga terkesan memakai 'legitimasi Ka'bah' dengan naik haji ketika  ingin mendekat umat Islam. Sepulang haji Suharto mendapat tambahan kata Muhammad di depan namanya. Hal sama juga ditengarai dipakai  Presiden Sukarno saat berhaji ke Makkah untuk melengkapi sebutan dirinya sebagai 'pemimpin negara Islam.'  Sama dengan Suharto, Sukarno pun mendapat tambahan kata  'Ahmad' di depan namanya.

Namun untuk Jokowi, meski sudah sempat berhaji, kunjungannya ke Makkah menjelang pencoblosan Pilpres 2014 itu tak membuatnya melakukan perubahan nama. Mungkin ini karena hanya merupakan kepergian umrah saja. Sedangkan, soal nama --dan juga niatan umrah tersebut-- memang hanya Jokowi dan Allah SWT yang tahu.

''Berbaik sangka sajalah kepada niat ibadah seseorang!'' begitu pesan Imam Al Ghazli ketika ada orang bertanya mengenai niat ibadah yang dilakukannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement