Selasa 16 Sep 2014 05:30 WIB

Haji Ikan

M Subarkah
Foto: Dokpri
M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, pengamat haji

Mungkin ada yang bingung adakah ikan bisa pergi haji? Jawabnya selama dunia masih belum kiamat maka itu serba mungkin. Dan ini juga tidak aneh, apalagi semua orang pun pasti sudah tahu ada beberapa nama flora-fauna yang juga memakai kata haji. Salah satu contoh untuk tumbuhan ada tanaman bernama ‘pakis haji’ (Cycas Rumphii). Sedangkan untuk satwa di Jawa ada sebutan yang ingin menunjukan burung endemik pemakan biji-bijian yang punya kepala putih: peking haji alias bondol haji alias juga emprit atau pipit haji (Lonchura Maja).

Lalu bagaimana bisa ada sebutan haji ikan, padahal semua tahu di Makkah dan Madinah tak ditemukan banyak kubangan air maupun sungai. Kalau pun ada tempat penampungan air alami ditempat terbuka, itu pun hanya berupa oase yang tentu saja tak ada –minimal jarang—ditemukan ikannya. Kalaupun ada ikan dalam jumlah banyak di Arab Saudi maka letaknya itu hanya di Laut Merah.

                                                                                ******

Meski begitu sebutan ‘haji ikan’ kerap merupakan ‘gelar lain’ yang diberikan para penduduk Makkah dan Madinah kepada para jamaah haji asal Indonesia. Khususnya ketika mereka merasa kesal atau tak terima ketika melihat perilaku jamaah yang tak mau menghemat pemakaian air.

‘’Jamaah haji Indonesia itu kayak ikan saja. Dalam sehari bolak-balik mandi. Ke luar rumah sebentar setelah pulang mandi. Berkeringat sedikit mandi. Mencuci pakaian airnya berlebihan. Wudhu dengan air berlebih,’’ begitu ucapan yang kerap terdengar di kalangan para penjaga pemondokan haji di Makkah. Orang Arab lazimnya hanya mandi sekali dalam sehari.

Akibat tak bisa menghemat air, para penjaga pemondokan pun kerap kesal. Tak cukup hanya dengan ‘mengomel’ mereka kadang kerap mematikan pasokan air sehingga memantik keributan. Bila di pemondokan  yang ditinggali jamaah dari luar Indonesia, sampai puncak haji mereka hanya isi tandon airnya hanya dua kali saja. Tapi bila jamaah Indonesia yang tinggal di pondokannya maka tandon air di tempatnya tersebut bisa dipasok  hingga empat sampai enam kali.

‘’Boros banget. Para jamaah banyak tak mau matikan air,’’ kata seorang penjaga pemondokan haji di Makkah yang mengaku berasal dari sebuah kecamatan di sebelah utara kota Kebumen, Alian, beberapa tahun silam. Menurutnya, ribut soal air yang habis bagi para penjaga pemondokan haji asal Indonesia adalah hal yang jamak terjadi.

Berbeda dengan orang yang tinggal di gurun sahara, bagi orang yang dating dari kepulauan Nusantara air masih banyak yang bisa didapatkan dengan mudah dan gratis. Ketersediaan air tak pernah merisaukannya. Bahkan, di kawasan tertentu air mengucur sepanjang waktu dan sepanjang tahun. Di pegunungan Garut, Jawa Barat, yang  hutannya masih belum banyak ditebangi, batang bambu pancuran yang di Arab Saudi berubah jadi ‘pipa pralon dan kran’, mengucurkan air seperti tak ada habisnya.

Akibatnya, bila seorang jamaah asal daerah itu tak punya kesadaran khusus bahwa air di gurun pasir bisa seharga dengan emas, maka mereka akan jengkel ketika kebiasaan pemakaian airnya harus dibatasi. Sudah jamak bila jamaah  haji perempuan ketika mencuci pakaian misalnya, tak akan pernah merasa puas bila pakainnya masih ada sedikit sabun yang menempel. Akibatnya, mereka terus saja membilas cucian pakainnya dengan air secara berulang-ulang.

Harap diketahui, seember air di Makkah bila ingin membelinya maka harus menyediakan uang sekitar 50 riyal atau lebih dari Rp 100.000. Akibat mahalnya air, maka menjadi hal yang lazim bila mobil dan kendaraan di Arab Saudi terlihat kusam karena tertutup debu. Jarang sekali terlihat ada orang Arab yang sibuk memandikan kendaraanya. Mereka paling banter hanya mengelap bodi dan kaca kendaraanya dengan lap basah, atau beberapa bulan sekali memandikan mobilnya dengan cara mengguyurinya dengan air.

Di zaman dahulu, sewaktu petualang legendasris asal Maroko, Ibnu Batutta pergi haji ke Makkah dari arah Damaskus pada 1325 M, dia sempat menceritakan betapa para kafilah sangat berhemat dengan air ketika berjalan melintasi padang pasir. Mereka paham sekali bila di tengah perjalanan kehabisan air maka maut akan segera menjemputnya.

’’Bila sampai kekurangan air di tengah padang pasir maka seperti ‘kiamat’ akibatnya. Saat itu satu kantong air bisa berharga sampai 1.000 dinar emas. Itu pun kalau ada. Kalau persedian tak cukup maka bisa-bisa akan terjadi pertumpahan darah. Akhirnya, baik yang punya air maupun yang tidak punya, keduanya bisa sama-sama menjemput ajal,’’ tulis Ibnu Batutta.

                                                              *****

Di Makkah misalnya, pemerintah kerajaan Arab Saudi menjaga betul agar pasokan air bersih tetap bisa dikonsumsi dengan cukup oleh warganya, baik itu mereka datang untuk berziarah umrah maupun berhaji. Di sana memang tak ditemukan jaringan pipa air bersih seperti lazim ditemui di Jakarta.

Dan, untuk memenuhi persediaan air bersih maka pihak kerajaan menyediakan truk-truk tangki raksasa. Air yang sudah dibawa sampainya di pemondokan haji atau perumahan penduduk akan langsung digelontorkan ke sebuah tempat penampungan air yang lazimnya terletak di bawah bangunan gedung.

Semakin besar daya tampung hotel, rumah, atau pemondokan haji maka semakin besar pula tandon air yang harus dibuat. Pada awal musim haji, sebelum jamaah gelombang pertama tiba di Makkah, tandon air di pemondokan haji diisi hingga penuh. Lazimnya, baru nanti menjelang musim puncak haji tandon air itu diisi kembali. Tapi kalau penghuninya boros air, maka tangki yang ukurannya ada yang mencapai 30 ribu liter akan terkuras dalam waktu sepekan hingga sepuluh hari.

Lalu apakah air yang dipakai sehari-hari di pemondokan Makkah merupakan air zamzam? Jawabnya tentu saja tidak! Air yang dipakai mandi, mencuci, membasuh kamar mandi, dan memasak adalah air haji sulingan air laut. Air Zamzam hanya dikonsumsi secara khusus untuk air minum. Ini pun sifatnya hanya terbatas saja.

Nah, kalau sekarang warga Makkah kerap menjuluki haji Indonesia sebagai ‘haji ikan’ karena boros air, maka wajar saja. Sebab, di manakah air tanah bisa di dapat bila tanah di kota itu hanya terdiri dari batuan dan serta pasir saja? 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement