REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Bahkan ada jamaah yang terpaksa berjalan dua kilometer dari pemondokan mereka ke Masjid Nabawi. Padahal sejumlah jamaah ini harus melaksanakan Shalat Arbain atau Shalat 40 waktu tanpa terputus selama delapan-sembilan hari.
Pemerintah Indonesia melalui Kemenag, kata Abdul Djamil, merasa dicurangi dengan sikap kesembilan Majmuah tersebut. Sebab, kesembilan Majmuah tersebut membatalkan kontrak beberapa jam sebelum masa kedatangan jamaah haji Indonesia.
Padahal, dua hari sebelum terjadi ingkar janji atau wanprestasi, kesembilan Majmuah tersebut sudah menyatakan komitmennya sesuai isi kontrak.
Ketika ditanyakan alasan pelanggaran isi kontrak, kesembilan Majmuah menyampaikan alasan beragam. Seperti belum keluarnya surat rekomendasi atau perizinan (Tasrikh) dari Baladiyah Madinah (semacam lembaga pemberi izin penempatan pemondokan di area kompleks Masjid Nabawi) hingga pemondokan mereka terkena larangan untuk ditempati jamaah haji karena ada proyek perluasan Masjid Nabawi.
Rekomendasi atau perizinan tersebut, tutur Abdul Djamil, terkait penempatan jamaah haji pada hotel tertentu. Saat ini Baladiyah Madinah memperketat kebijakan penempatan jamaah haji di pemondokan pascaperistiwa kebakaran di dua lokasi pemondokan jamaah haji yang lokasinya hampir dekat dengan Masjid Nabawi pada tahun lalu, sehingga pihak pemerintah kota agak selektif memberikan rekomendasi atau perizinan kepada pemilik hotel.
Namun pemerintah, kata Abdul Djamil, tetap tidak bersedia menerima apapun alasan yang disampaikan Majmua. "Karena jelas mereka menyalahi kesepakatan dan harus membayar denda 300 riyal per jamaah haji Indonesia," tegasnya.
Dirjen menyayangkan sikap Majmuah tersebut sebab kesembilan Majmuah tersebut selama ini dinilai memiliki track record bagus dan mendapat kepercayaan menyediakan pemondokan dari Kemenag pada tahun-tahun sebelumnya.