REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Suhu di Madinah kadang mencapai 41 derajat celcius. Suhu itu sangat panas bagi ukuran orang Indonesia, apalagi orang daerah atau desa.
Kondisi itu semakin diperparah dengan ketiadaan air untuk mandi pada hari pertama kedatangan jamaah haji kloter 13 ini. "Tidak ada air, tetapi setelah kita protes ada pompa baru, kemudian airnya keluar," bebernya.
Orang nomor satu di Tebing Tinggi ini juga memprotes menu makanan yang disajikan. Menu makanan yang disediakan perusahaan katering dinilai monoton.
"Setiap hari menunya monoton, itu-itu saja. Kadang mengantar makanan tidak ada mineral water (air bening), saya ikut ke sini karena memang ingin tahu situasi yang sebenarnya," ujar Umar Junaidi Hasibuan.
Dia berharap Kemenag RI melakukan pembenahan. Sehingga ke depan tidak ada lagi persoalan yang sama yang dialami jamaah haji Indonesia.
"Karena itu, kami sampaikan kepada Pak Dirjen agar dibenahi fasilitas-fasilitas ini. Banyak sekali kekurangan yang ada di sini (pemondokan di luar Markaziah). Kita tahu mengurus jamaah haji (itu) repot, tapi hendaklah adanya keadilan," katanya.
Umar mendesak Kemenag segera melakkan proses perbaikan sehingga 17 ribu jamaah haji yang ditempatkan di pemondokan di luar Markaziah merasakan dampak keadilan pelayanan selama menjalani ibadah haji di Arab Saudi.
Abdul Djamil terlihat sabar mendengarkan keluhan para jamaah. Setelah mendengar keluhan para jamaah, ia meminta jamaah haji agar bersabar.
Dalam kesempatan itu ia menjelaskan kondisi tersebut bukan kesalahan Kemenag RI, tetapi kesalahan dari para Majmuah yang ingkar janji kontrak sehingga menempatkan jamaah haji di luar Markaziah.
Untuk solusi sementara, para Majmuah didesak menyediakan bus-bus gratis bagi jamaah haji untuk pergi dan pulang dari Masjid Nabawi.
Abdul Djamil berpesan agar angkutan itu ditambah dan diprioritaskan untuk jamaah haji risiko tinggi (risti) atau lanjut usia. Mendengar hal tersebut, para jamaah yang sempat ingin dipindahkan ke hotel yang lebih layak, akhirnya menarik napas lega.