Oleh: Zaky Al Hamzah, Jeddah, Arab Saudi
REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Pemuda pertama adalah Krisdiyanto. Dia adalah seorang guru SMA Bina Madani di Jalan Raya Bogor Gang Hj Rafi'i Sarpin, Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Meski berkeinginan haji sejak lama, namun pria kelahiran Magelang (Jawa Tengah) 11 Juli 1976 ini sadar diri bahwa gaji guru tidak mencukupi untuk membiayai pendaftaran haji.
Niat itu akhirnya diterbangkan dengan doa-doanya yang diucapkan setiap waktu. Hingga pada awal September ini, dia dipanggil Mudir atau Kepala Madrasah tempat Krisdiyanto. Setelah pertemuan, sang Mudir menunjuk Krisdiyanto untuk berangkat haji.
"Saya menganggap belum apa-apa, kok ditunjuk berhaji," katanya, merendah. Sang Mudir berucap kalau Krisdiyanto mendapat visa haji undangan Raja Arab Saudi dan diminta menemui Ustad H Masrur Syamhari.
Sosok kedua adalah Pramusinto. Sosoknya besar, tinggi dan berkulit hitam. Dia kelahiran Sleman, 16 Mei 1983. Masih muda. Meski muda, sejak tahun 2002 lalu dia merupakan pendamping sekaligus tim monitoring penyaluran sumbangan dana dari Jamarat Al Khairiyah dari Arab Saudi. Yayasan sosial di Arab Saudi ini menyalurkan dana untuk pembangunan masjid-masjid di Indonesia.
Hingga kini, jumlah masjid di Indonesia yang dibangun atas sumbangan donatur melalui Jamarat Al Khairiyah ini mencapai enam ribu unit. "Sebanyak dua ribu unit dibangun di Yogyakarta," tutur Sinto, panggilan akrab Pramusinto. Sinto bersyukur bisa ikut mendampingi proses awal hingga akhir pembangunan dua ribu unit masjid di Yogyakarta.
Apa amalan Sinto hingga akhirnya bisa berhaji? Sinto rutin mengucapkan talbiyah sejak dari rumah hingga lokasi pembangunan masjid. Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah….. Talbiyah tersebut diucapkan rutin. "Sampai kini. Alhamdulillah," katanya.
Hingga kemudian, dia menerima undangan untuk berhaji. Sinto pun diminta menemui Ustad H Masrur Syamhari. Karena belum memiliki paspor, Sinto baru mengurus paspor dan baru terbit pada 24 Juli 2014. Subhanallah.
Sosok ketiga adalah Muhammad Ramlisamaleba. Dia merupakan ustad di Ponpes Darul Aitam di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ramlisamaleba menjadi ustad di ponpes tersebut sejak 1996 atatu saat dirinya masih tinggal di Timor Timur yang kini memisahkan diri dan menjadi Timor Leste. Dia pun memiliki amalan yang membuatnya menerima undangan haji. Ustad H Masrur Syamhari meminta Ramlisamaleba menemuinya di Jakarta.
Kemudian, sosok keempat adalah Saifullah Slamet Surip (Bogor). Dari kelima pemuda ini, dia adalah pemuda paling muda, yakni kelahiran 16 Desember 1985 ini. Meski paling muda, dia adalah guru hafiz (penghafal Alquran) dan sudah hafal 30 juz. Kemampuannya menghafal 30 juz dan menjadi guru hafiz sejak beberapa tahun di Ponpes Bina Madani yang berlokasi di Ciawi, Bogor, Jawa Barat ini, membuat dirinya terpilih untuk berhaji.
Surip pun datang ke kediaman Ustad H Masrur Syamhari di Jakarta, beberapa hari lalu. Sedangkan pemuda terakhir adalah Ahmad Syihabuddin Hasan. Saya belum sempat berbincang dengan sosok berkacamata ini. Karena dia terlihat kekelahan dan lebih banyak diam saat saya berbincang dengan empat rekannya. Yang pasti, Hasan juga memiliki amalan dan doa khusus yang membuat dirinya dipanggil Allah SWT untuk berhaji.