REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perspektif tasawuf, haji bertujuan untuk sampai pada hakikat Baitullah atau Ka’bah melalui perjalanan fisik-spiritual (al-sair waal-suluk). Hakikat Baitullah atau Ka’bah di-i’tibar-kan pada dua hal yaitu di dalam ufuk (alafaq) dan di dalam jiwa manusia (alanfus). I’tibar di dalam ufuk merujuk pada jiwa makrokosmos (qalb al-insan alkabir) yang biasa disebut jiwa alam raya (al-naf al-kulliyyah) atau the soul of universe, Baitul Ma’mur, atau Lauh Mahfudz.
Sedangkan i’tibar dalam jiwa manusia dihubungkan dengan kalbu manusia (qalb al-insan al-shagir) yang biasa disebut hati (al-fu’ad), dada (al-shadr), atau jiwa rasional yang particular (alnafs al-nathiq al-juz’iyyah).Perjalanan spiritual menuju hakikat Ka’bah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi, "Rumah yang pertama kali yang diletakkan di atas air dan tampak di permukaannya adalah Ka’bah."
Ini terjadi sebelum penciptaan bumi dan bangunan yang ada di bumi. Hal ini juga sesuai dengan firman Allah SWT, "Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun bagi manusia di Bakkah (adalah Baitullah) yang diberkahi dan petunjuk bagi semua manusia. Di situ terdapat tanda-tanda yang nyata, maqam Ibrahim. Barang siapa yang memasukinya, dia menjadi aman.
Mengadakan perjalanan menuju rumah itu (haji) adalah kewajiban manusia yang sanggup terhadap Allah. Barang siapa yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan) alam semesta." (QS Ali Imran [3]:96-97).
Hadis dan ayat tersebut mengisyarat kan adanya Ka’bah secara fisik (alka’bah al-shuri) dan Ka’bah secara spiritual (al-ka’bah al-ma’nawi). Ka’bah secara fisik terdiri atas dua bagian, yaitu Ka’bah fi sik yang berada di kompleks Masjid Haram, dan bagian lain ialah hati secara fisik yang juga dapat disebut Baitullah, dalam bentuk bangunan bersegi empat.
Sedangkan Ka’bah secara spiritual ialah jiwa makrokosmos (al-insan alka bir) atau biasa disebut jiwa alam raya (al-naf al-kulliyah). Hal ini seja lan dengan pemahaman secara spiritual ayat dan hadis di atas. Ka’bah secara spiritual juga dihubungkan dengan ayat, "Maka, ketika Aku telah menyempurnakannya dan Aku meniupkan ruh-Ku di da lam nya."(QS Shad [38]:72).
Ayat ini mengisyaratkan ruh insan shagir (mikro kosmos) diciptakan sebelum yang lainnya diciptakan. Asumsi ini juga diperkuat dengan hadis qudsi yang popular dalam ilmu tasawuf: "Bumi-Ku dan langit-Ku tidak mencakup diri-Ku, namun hati hamba- Ku yang mukmin mencakup diri-Ku." Dada manusia (al-shadr) yang dikonotasikan dengan Baitullah atau Ka’bah spiritual dihubungkan juga dengan ayat, "Bukankah Kami telah melapangkan dadamu untukmu." (QS Alam Nasyrah [94]:1).
Baitullah atau Ka’bah, baik dalam arti fisik maupun spiritual, merupakan kiblat peribadatan atau objek tawajjuh. Bahkan, dikatakan dalam hadis, "Tidak sah shalat bagi mereka yang tidak menghadap ke kiblat." Ka’bah se bagai objek tawajjuh merupakan ke niscayaan karena bukankah lafaz ikrar dalam iftitah seluruh ibadah, hidup dan kehidupan serta kematian kita semuanya hanya untuk Allah SWT, Sang Pemilik Ka’bah?
Ka’bah adalah jiwa universal yang disebut dengan Baitullah yang agung. Manisfestasinya di atas permukaan air sebagai isyarat pada alam-alam ruhani yang tampak sebelum alam-alam jasmani. Karena biasanya setiap sesuatu yang mewujud memiliki sesuatu yang di atasnya. Tidak diragukan bahwa jiwa universal berada di atas jiwa-jiwa partikular dan alam-alam ruhani. Allah berfi rman, "Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Dan arasy-Nya berada di atas air," (QS Hud [11] : 7). Sebelum penciptaan langit dan bumi yang berbentuk jasmani, Arsy berada pada hal-hal yang bersifat ruhani dari akal dan jiwa, jika yang dimaksud dengan air adalah air lahiriah menurut pendapat ahli tafsir.
Mereka mengatakan bahwa Arsy dan air, pada awalnya tidak ada peran tara dan kehampaan di antara keduanya, maka bisa dikatakan bahwa Arsy berada di atas air. Air di sini juga sebagai isyarat pada materi universal yang dianalogikan dengan air, jika dihubungkan dengan jiwa universal yang berada di atasnya beberapa tingkatan.
Setelah menunaikan kedua haji di atas, maka haji menurut kelompok ini diibaratkan dengan bertujuan atau bertawajjuh dengan perjalanan spiritual menuju hati insan kabir (manusia besar) yang merupakan baitullah yang teragung. Ia disebut juga dengan al-bayt al-ma’mur atau hadharat Al-Quds, atau jiwa universal. Ber-tawajjuh menurut ahli tarikat dan hakikat tidak identik dengan ulama fikih.
Penjelasan manasik haji kita di Tanah Air secara umum masih lebih menekankan aspek fikih yang memperkenalkan Ka’bah sebagai satu kenyataan fisik. Belum banyak diperkenalkan makna-makna spiritual simbol-simbol haji. Model manasik haji secara komperhensif dengan melibatkan pembahasan makna spiritual di balik rangkaian panjang tradisi pengamalan haji sangat diperlukan guna menggapai kemabruran haji.
Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Wakil Menteri Agama RI