Oleh: Zaky Al Hamzah, Neni Ridarineni, Makkah, Arab Saudi
REPUBLIKA.CO.ID, ARAFAH -- Naib Amirul Hajj Din Syamsuddin menjadi khotib pada khotbah wukuf di Arafah. Ketua Majelis Ulama Indonesia tersebut mendoakan jamaah haji Indonesia meraih kemabruran sejati sembari mendoakan Indonesia tetap rukun dan makin berkualitas.
Khotbah wukuf disampaikan Ketua PP MUhammadiyah tersebut di Padang Arafah, Jumat 9 dzulhidjah 1435 H/ 3 Oktober 2014. Din memberi judul khotbahnya itu 'Meraih Kemabruran Menuju Kehidupan Berkemajuan'.
Para jamaah haji yang mabrur,
Menunaikan ibadah haji merupakan napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim AS. Banyak dari manasik dan lokasi terkait ibadah haji berakar atau berhubungan dengan peristiwa yang dialami Ibrahim AS dan keluarganya, sejak dari tawaf mengitari Ka`bah, sa'i antara Shafah dan Marwah, meminum air abadi zamzam, hingga melempar jumrah.
Lebih dari pada itu, ibadah haji juga berorientasi pada peneguhan tauhid sebagaimana yang telah dicontohkan Ibrahim AS. Ibrahim AS, yang merupakan moyang dari para Rasul Allah penerima agama-agama samawi yaitu Musa AS, Isa AS, dan Muhammad SAW, dikenal sebagai "Bapak Tauhid". Hal demikian adalah karena Ibrahim AS pernah terlibat dalam pencarian tuhan yang benar.
Maka ketika ia lihat bulan, kemudian matahari yang bersinar di angkasa raya, ia yakini sebagai tuhan. Namun, ketika keduanya terbenam, dia nyatakan tak mau bertuhan kepada yang hilang. Akhirnya Ibrahim AS menemukan Tuhan Sejati, Allah SWT, Pencipta manusia dan alam semesta. Ibrahim AS kemudian menghancurkan tuhan-tuhan buatan dan semu, baik dalam bentuk berhala maupun ujian setan.
Komitmen tauhidi Ibrahim AS mendorongnya untuk menaati perintah Allah tanpa pamrih. Dengan sikap sami'na wa atho'na (taat patuh tanpa reserve kepada Tuhan) dan mukhlisina lahud din (ikhlas tanpa pamrih dalam beribadat kepadaNyA) Ibrahim AS rela merealisasikan perintah Allah lewat mimpi untuk menyembelih putra tunggal tercintanya, Ismail AS, yang sedang beranjak remaja, walaupun itu hanyalah ujian Allah, karena akhirnya digantikan dengan seekor domba. Ibrahim AS dinukilkan oleh Al- Qur'an sebagai sosok Muslim pertama nan hanif (hanifan Musliman. . . wa ana awwalul Muslimin).
Manasik haji yang kita tunaikan --wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dengan melempar jumrah-- merupakan napak tilas perjalanan tauhidi Ibrahim AS tersebut. Maka pembelajaran kedua dari ibadah haji yang tengah kita tunaikan sekarang ini adalah agar kita menjadi seorang Muslim dengan komitmen tauhidi yang kuat dan kehanifan yang mantap. Sebagai Muslim kita dituntut untuk senantiasa berpegang teguh kepada nilai tauhid, yaitu hanya menuhankan Allah SWT. Maka oleh karena itu, kita dituntut mampu melenyapkan tuhan-tuhan di dalam diri dan di sekitar kita, baik dalam bentuk hawa nafsu dan godaan pesona duniawi.
Menjadi Muslim hanif mengandung arti berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah (al- haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin, kebenaran itu dari Tuhanmu maka jangan termasuk orang-orang peragu). Sikap hanif ini menuntut kita untuk tidak sekali-kali berkompromi dengan kebatilan dalam berbagai bentuknya. Itulah yang telah ditunjukkan oleh Ibrahim AS, dan itu pula lah yang dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Sebagai penerus dan pewaris Ibrahim AS, Muhammad SAW mengajarkan kita untuk mengamalkan tradisi Ibrahimy dengan menegakkan komitmen ketauhidan dan kehanifan.
Maka, menarik untuk didalami, shalat, yang merupakan tiang agama, diawali dengan doa iftitah yang menukilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan Ibrahim AS (dalam doa wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardha hanifan Musliman. . . wa ana minal Muslimin), dan diakhiri dalam doa tahiyat dengan shalawat atas Ibrahim AS (Allahumma shalli 'ala Ibrahima. . . Allahumma barik 'ala Ibrahima). Hal ini menunjukkan seolah-olah shalat diapit oleh dua referensi Ibrahimy yaitu komitmen ketauhidan dan kehanifan.
Menjadi Muslim hanif adalah pesan penting ibadah haji dan unsur dari kemabruran haji. Pribadi mabrur yang dicita-citakan seseorang yang menunaikan ibadah haji haruslah berpangkal pada adanya sikap hanif, yaitu tunduk dan patuh kepada kebenaran Ilahi dan mampu mengejawantahkannya dalam kehidupan nyata.
Pada era moderen dan global dewasa ini, setiap Muslim dituntut untuk mampu menampilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan, yakni berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bersikap konsekwen serta konsisten dalam menjalankannya. Tentu dengan tidak mengabaikan nilai-nilai positif dari kemajuan zaman. Islam adalah agama kemajuan dan mendorong pemeluknya untuk berkehidupan yang berkemajuan. Rasulullah SAW bersabda "Sesungguhnya agama yang disukai di sisi Allah adalah beragama dengan penuh kehanifan yang berlapang dada".