Oleh: A Syalaby Ichsan
Addie merasakan kehadiran Allah lewat cahaya itu. Dia menunduk ke tempat sujud lantas matanya segera berlinang air mata.
“Setelah melihat cahaya itu, air mata berlinang tidak terkendali, aku tidak tahu alasannya, tapi seketika ada rasa malu dan sedih dalam hati,” kenang pianis, pencipta lagu, komponis, arranger, sekaligus produser musik itu. Air matanya bahkan sampai membasahi buku panduan doa yang ada di atas sajadah.
Tangisannya tak kunjung berhenti sampai rakaat keempat shalat. Dia pun menjadi pusat perhatian dari jamaah lain. Seusai shalat, Addie pun segera menarik diri mencari pojok dekat tiang masjid terdekat. Dia merenungi kejadian ekslusif yang terjadi barusan.
Beberapa menit, tangisannya pun usai. Segara setelah itu, timbul perasaan ringan dan hati yang lapang. Serasa beban hidup terangkat dan keimanan bertambah. Cahaya itu menyadarkannya bahwa ada satu Zat Mahamulia yang menujukkan sekelabat kuasa-Nya.
Sebagai hamba, ia menjadi semakin merasa kecil di hadapannya. Tak pantas manusia menyombongkan diri dengan kemampuannya. Sebab, Allah-lah pemilik semua keagungan.
Sepulang dari Tanah Suci, perasaan berserah diri selalu muncul ketika merespons semua takdir yang digariskan Allah. “Tidak seperti dulu yang suka menggerutu ketika ditimpa kesialan, sekarang aku menganggap jika terjadi hal tidak baik di hidup ini, sebagai cobaan yang harus dihadapi,” ujarnya.
Akhir kata, Addie mengutarakan cita-citanya. Sebelum tutup usia, ia ingin membuat orkestra musik bernuansa Islami. Dalam pandangannya, Allah merupakan inspirasi tertinggi. Dialah Allah yang Mahaindah. Maka, lewat musik, Addie ingin mengekspresikan kecintaan kepada Allah lewat alunan dan harmoni musik yang indah pula.