Diasuh oleh: Ustaz HM Rizal Fadillah
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, mencium Hajar Aswad menjadi impian setiap jamaah haji. Apa makna dan keutamaan mencium Hajar Aswad? Adakah caranya agar kita bisa mencium Hajar Aswad? Lalu, bagaimana jika jamaah tak bisa mencium Hajar Aswad ?
Waalaikumussalam wr wb.
Mencium Hajar Aswad memang sering jadi dambaan jamaah meskipun kadang tidak disandarkan pada pemahaman yang benar. Rasulullah SAW mencium Hajar Aswad adalah benar , tetapi kita sering mencium Hajar Aswad dengan cara yang tidak benar.
“Rasulullah SAW mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya, kemudian ia meletakkan kedua pipinya (di atas batu) sambil menangis. Kemudian beliau berkata, ‘Di sinilah ditumpahkan banyak air mata.” (HR Hakim).
Hukum mencium Hajar Aswad dapat sunah, mubah, atau haram. Sunah jika dilakukan saat memulai atau ketika tiba di sudut Hajar Aswad pada saat pelaksanaan thawaf. Mubah jika kita datang tiba-tiba ingin mencium Hajar Aswad (di luar thawaf). Haram jika untuk mencium Hajar Aswad kita harus menganiaya orang lain. Berdesakkan dan sikut sana sikut sini.
Mengingat beratnya medan mencium batu hitam ini, Rasulullah SAW memberi alternatif lain saat berthawaf sebagaimana sabdanya, “Hai Umar, engkau adalah orang yang kuat, janganlah engkau berdesak-desakkan untuk mendekati Hajar Aswad, lalu engkau menyakiti yang lemah. Jika kamu memperoleh kesempatan maka ciumlah Hajar Aswad, jika tidak, cukup dengan takbir dan terus berjalan.” (HR Asyafie).
Mengenai pertanyaan cara mencium Hajar Aswad, tampaknya tidak ada resep yang baku. Sifatnya sangat kondisional. Bisa dengan cara ikut antre dari sisi dinding Ka’bah walau cara ini berisiko untuk jatuh. Bisa pula langsung masuk ke area berkumpulnya orang yang hendak mencium, mencari celah masuk dari orang yang baru keluar. Atau, dari arah kanan di bawah askar berdiri, kadang ada bantuan askar pula, terutama bagi wanita.
Teman membantu juga bisa dijadikan upaya, melindungi dan membuka jalan bagi masuknya kita untuk dapat mencium. Pola bantuan seperti ini yang kerap dimanfaatkan oleh para “calo Hajar Aswad”.
Ini harus hati-hati. Jika memang jamaah tidak bisa mencium batu hitam itu, tentu tidak mengapa karena sebagaimana disebutkan di atas hukum maksimalnya hanya sunah saja. Itu pun Nabi beri jalan jika tak mampu dapat diganti beristilam dengan isyarat dan bertakbir.
Apalagi yang tidak berkaitan dengan thawaf tentu, tidak boleh memaksakan diri sebab dapat jatuh ke lembah haram. Sebaiknya, jamaah mengingat saja pada peristiwa dan dalil ini, “Dari Abis bin Robi’ah, ia berkata ‘Aku pernah melihat Umar (bin Khattab) mencium Hajar Aswad. Lantas Umar berkata ‘Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, kita dapat menempatkan mencium Hajar Aswad itu lebih proporsional dengan mempertimbangkan antara semangat tinggi dan kemampuan yang ada serta status hukum yang melekat pada perbuatan ini. Hitam dan putihnya akibat dari mencium Hajar Aswad sangat digantungkan pada jiwa dan hati jamaah haji itu sendiri. Itu tergantung niat yang ditanamkan.
Rasulullah SAW bersabda, ‘Hajar Aswad turun dari surge, padahal batu tersebut begitu putih, lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam.” (HR Tirmidzi No 877 menurut Syekh Nashiruddin Al Bani hadis ini shahih).
Semoga batu hitam yang dicium oleh jamaah haji mampu membuat hati jamaah menjadi lebih putih. Sebaliknya, sungguh celaka jika gara-gara mencium Hajar Aswad justru hati putih jamaah menjadi hitam karena salah memaknai. Naudzubillah.