Rabu 08 Oct 2014 06:56 WIB

Warga Tanah Suci pun Susah Berhaji (Bagian 2)

Rep: Antara/ Red: Indah Wulandari
Jamaah haji Indonesia berbelanja di Kota Makkah, Arab Saudi.
Foto: Republika/Heri Ruslan/ca
Jamaah haji Indonesia berbelanja di Kota Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID,MAKKAH--Meskipun prosedurnya dipersulit, tetap saja ada celah bagi penduduk atau mukimin (warga negara Indonesia yang sudah berdiam di Arab Saudi).

Salah satunya dialami Aisyah (34), asal Madura, Jawa Timur, yang telah enam kali naik haji selama 15 tahun bekerja di Arab Saudi, atau Eman Khorman (35) yang berhaji dengan cara berpetualang.

Aisyah yang ditemui saat sedang mabit atau bermalam di Mina mengatakan bahwa mukimin yang ingin berhaji harus mempunyai cara-cara khusus.  Tak salah bila ia berkata begitu. Tahun ini, tidak tanggung-tanggung, ia membawa rombongan keluarganya dari Madura, Jawa Timur yang juga lama tinggal di Arab Saudi hingga mencapai 60 orang.

Aisyah saat ini sedang bekerja di Jeddah, sekitar satu jam perjalanan darat ke Makkah. "Kalau kita tidak punya tasrih maka tidak boleh masuk Makkah," katanya, Rabu (8/10).

Untuk mengakali masalah izin, Aisyah melaksanakan haji tamattu’, yakni melaksanakan umrah wajib dahulu baru berhaji. Pertama, ia berangkat umrah wajib pada saat bulan Ramadhan karena pada waktu itu pemeriksaan belum ketat.

"Kalau mendekati wukuf sangat ketat," kata ibu satu anak yang suaminya bekerja di Makkah ini.

Setelah itu ia kembali bekerja ke Jeddah. Nah pada saat mendekati wukuf di Arafah, dia lalu membayar kepada agen yang merupakan warga setempat sebesar 1.000 riyal atau sekitar Rp 3,2 juta.

"Itu paket penuh, saya dijemput ke Jeddah dan dikembalikan ke Jeddah. Juga dapat makan dan tenda saat di Arafah, serta penginapan di Makkah. Jika tidak paket penuh maka bayarnya lebih murah," katanya.

Karena sopir yang mengangkutnya dari Jeddah adalah orang Arab maka ia cukup mudah masuk ke Makkah. Tentu sebagai jamaah haji tidak resmi, dia tidak akan mendapat fasilitas sebagai haji resmi.

Haji resmi harus membayar  biaya layanan umum guna fasilitas jamaah di Arafah dan Mina, terutama tenda dan transportasi. Mereka juga diantar ke Arafah.

Namun, selama di Padang Arafah saat melakukan wukuf, mereka tidak tinggal di tenda-tenda resmi. Mereka tinggal di tenda sendiri yang dibangun oleh agennya. Sang agen juga menyediakan makan selama di Arafah.

Usai melaksanakan wukuf, mereka kembali menggunakan kendaraan yang telah disediakan untuk melakukan ritual haji lainnya, yakni mabit di Muzdalifah dan dilanjutkan perjalanan ke Mina pagi harinya.

Namun di Mina mereka tidak disediakan tenda. Untuk tidur, mereka hanya beralas tikar, sajadah atau karpet. Di sini juga tidak disediakan makan. Mereka harus membeli makan sendiri.

Mereka hanya bermalam sampai tengah malam, untuk selanjutnya berjalan kaki menuju penginapan mereka di Makkah yang kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh atau sekitar 30 menit berjalan kaki. Untuk itu mereka tidur di dekat perbatasan Mina-Makkah agar tidak terlalu jauh dari penginapan.

Sore harinya, mereka lalu kembali ke Mina untuk melempar jamrah, dan dilanjutkan kembali dengan menginap sampai tengah malam.

“Kegiatan ini dilakukan selama dua hari,” tutur Aisyah yang bekerja apa saja, mulai di rumah sakit, hotel dan lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement