REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Asuransi haji yang dipakai para jamaah haji harus sesuai prinsip-prinsip syariah Islam.
"Asuransi Haji yang dibenarkan adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah" kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf, Rabu (8/10).
Asuransi Haji, ujarnya, bersifat taawuni (tolong menolong) antar sesama jamaah haji. Sedangkan akadnya adalah akad tabarru' (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jamaah haji yang terkena musibah.
"Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru' dengan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah," tutur dia.
Dalam Ketentuan Khusus, Dewan Syariah Nasional MUI menyebutkan, Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Jamaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarrua yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Serta premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
Asuransi syariah juga harus menginvestasikan dana tabarru sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru.
Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. Serta berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
Ketujuh, Surplus Operasional adalah hak jamaah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.
"Ibadah haji adalah perjalanan panjang yang mengandung risiko baik kecelakaan maupun meninggal. Dengan asuransi tersebut membuat manusia bersiap dengan masa depannya," kata Slamet Effendy.