Oleh: Neni Ridarineni
Sayangnya informasi tentang benda-benda koleksi museum yang diresmikan 20 tahun yang lalu dan dibuka untuk umum secara gratis ini sangat minim. Kalaupun ada informasi tentang koleksi museum, penjelasannya sebagian besar bertuliskan bahasa Arab.
Padahal pengunjung dari berbagai belahan dunia ingin banyak tahu tentang sejarah koleksi barang tersebut. Seperti halnya foto sumber mata air zam-zam, informasi tentang dalamnya sumur, bagaimana air zam-zam ke luar dan sebagainya semua tertulis dengan bahasa Arab.
''Kalau ada guide dan penjelasan dalam bahasa Inggris akan lebih menarik. Di samping itu penataannya kurang rapi sehingga kesannya penuh. Mungkin karena ruangannya tidak terlalu luas,'' ungkap Fani, salah sseorang pengunjung museum yang berasal dari Indonesia.
Sementara itu, Akmal Salim, peneliti muda dan Kepala Subdit Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Hubungan antar Agama Kementerian Agama yang mengunjungi museum arsitektur ini mengungkapkan, dengan melihat museum ini bisa dilihat peradaban manusia khususnya umat Islam dari tahun ke tahun.
Misalnya, dalam melihat Masjidil Haram dan Ka'bah, kita tidak bisa hanya melihat Masjidil Haram dan Ka'bah yang sekarang saja. ''Kita juga harus memahami ke belakang bagaimana Ka'bah dan Masjidil Haram dulu yang tampak sederhana hingga sangat megah seperti sekarang ini seiring dengan kemajuan peradaban,'' kata dia.
Dari museum arsitektir ini, lanjut Akmal, kita juga bisa melihat bahwa bagaimana peradaban bergerak dan peradaban Islam disumbang oleh peradaban lain.
Seperti halnya dari koleksi jam yang dulu dipasang di Masjidil Haram merupakan pesanan Raja Abdul Azis Said pada tahun 1352 H kepada Jerman. ''Jadi, kalau melihat Eropa yang sekarang pasti ada jejak Islam,'' tuturnya.