REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Kamis (27/8), Komisi VIII mengundang sejumlah pakar terkait penyelenggaraan haji dan umrah. Mantan Dirjen Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), Anggito Abimanyu yang ikut di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) memberi sejumlah masukan.
Menurut dia, persoalan penyelenggaraan haji dan umrah kini cenderung disebabkan lemahnya aturan perundang-undangan. Misalnya, masalah keterlambatan visa bagi ribuan jamaah haji dan khususnya efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Demikian pula, terkait upaya antisipasi munculnya indikasi korupsi dana BPIH. “Saya usulkan supaya undang-undang yang diubah nanti bisa membuat biaya haji lebih efisien,” ucap Anggito Abimanyu saat dihubungi ROL, Kamis (27/8).
Anggito menyebutkan, RUU terkait perubahan UU Haji Umrah ini diharapkan bisa memberikan kepastian mengenai pelayanan terhadap jamaah selama di Tanah Suci. Selain itu, akan ditegaskan pula jadwal haji dan umrah yang lebih disiplin.
Yakni, mulai dari pengajuan dan persetujuan BPIH, pelayanan selama di Tanah Air maupun Arab Saudi. Kemudian, pelunasan BPIH, penyembelihan dam, hingga perpisahan jamaah menuju Tanah Air. Semua itu, akan diselaraskan dengan program e-hajj Kerajaan Arab Saudi.
“Menurut UU yang baru nanti, insyaAllah, proses itu selesai di bulan Bulan Ramadhan. Jadi harapan kita tidak ada lagi keterlambatan di dalam pemvisaan, meskipun menggunakan sistem seperti e-hajj,” papar dia.
Anggito menilai, sejatinya tidak ada alasan yang bisa diterima terkait keterlambatan visa jamaah haji. Apalagi, penerapan e-hajj pun bagi Indonesia sudah disosialisasikan sejak tahun 2013, plus perpanjangan waktu dua tahun ke pemerintah Saudi.
“Itu (keterlambatan visa) adalah kesalahan kita sendiri. Kita harus instropeksi. Kita ini ya pemerintah, DPR, travel-travel, pelayanan, macam-macam,” tutup dia.