REPUBLIKA.CO.ID,MADINAH -- Kedatangan jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci terbagi menjadi dua, yakni gelombang pertama dan gelombang kedua. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun ini kedatangan jamaah haji dari Tanah Air diatur ke dua titik.
Jamaah gelombang pertama seluruhnya masuk melalui Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Azis (AMAA) Madinah, sedangkan jamaah haji gelombang kedua masuk melalui Bandara Internasional King Abdul Azis (KAA) Jeddah.
Pemecahan dua pintu masuk kedatangan ini berimbas pula pada pemecahan tugas daerah kerja (daker) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Para pelayan jamaah haji Nusantara di Arab Saudi dibagi menjadi tiga daker, yakni Daker Makkah, Daker Madinah, dan Daker Bandara Jeddah-Madinah.
Saya dan empat orang wartawan lainnya tergabung ke dalam tim Media Center Haji (MCH) Daker Bandara Jeddah-Madinah.
Selain bertugas melakukan reportase haji, tim MCH harus membantu para petugas di Daker Bandara. Tugas itu, antara lain membantu menyiapkan paspor jamaah, membawakan barang jamaah, mendorong kursi roda jamaah sakit atau berusia uzur, mengantarkan jamaah ke dalam bus, sampai mengambilkan air minum serta makanan bagi jamaah yang baru tiba.
Sejak 21 Agustus, semua petugas Daker Bandara terkonsentrasi di Bandara AMAA Madinah. Kemudian, pada 2 September, sebagian petugas bertolak ke Jeddah yang berjarak sekitar 450 kilometer dari kota Nabi untuk melayani jamaah haji gelombang kedua.
Sebagian petugas lain masih di Madinah untuk merampungkan pelayanan kedatangan gelombang pertama. Lantaran jarak waktu kedatangan gelombang pertama dan kedua berimpitan, maka petugas Daker Bandara terpecah di dua kota, Madinah dan Jeddah.
Petugas yang sudah berada di Jeddah menjadikan area Bandara KAA sebagai hotel. Mereka makan, shalat, dan beristirahat di beberapa titik bandara tempat bertugas. Tak terkecuali Kepala Daker Bandara Nurul Badruttamam.
Saya dan petugas lain baru datang dari Madinah pada 5 September petang. Beristirahat satu malam, esoknya kami langsung menggantikan petugas yang sudah bekerja di Bandara sejak 3 September.
Banyak petugas yang tak lagi memperhatikan kerapian seragam mereka. Kemeja warna putih dengan strip merah di saku dan leher sudah terlihat kusut. Begitupun juga dengan celana dan rompi hitam yang sudah sedikit kotor dan kusam.
“Sudah tiga hari dua malam nggak sempat ganti baju. Kita nggak mau ninggalin bandara soalnya belum ada petugas pengganti,” ujar Eko, salah satu petugas.
Eko melanjutkan, petugas tidak sempat pulang ke hotel dan berganti baju. Kendati masih bisa mandi, namun petugas langsung memakai bajunya kembali tanpa memakai handuk terlebih dahulu. “Nanti juga bajunya kering sendiri. Nggak apa-apa lah, demi tugas.”
Meski raut muka para petugas terlihat letih karena kurang tidur, namun saya melihat kobaran bersemangat masih melekat dalam diri mereka.
Ketua Sektor I Daker Bandara Artanto bercerita kepada saya. Semua petugas memang dikondisikan tetap bekerja di bandara sampai ada petugas pengganti dari Madinah.
Artanto melanjutkan, bagi petugas haji, menginap di bandara sudah menjadi semacam kewajiban setiap musim penyelenggaraan haji. Petugas pun harus membiasakan diri.
Kenikmatan membantu dan membimbing jamaah saat kebingungan mencari tempat mandi merupakan suatu hal yang sulit digambarkan. Apalagi, ada juga jamaah yang harus dibantu saat mandi dan menggunakan ihram. Belum lagi jika ada barang bawaan jamaah yang tercecer dan harus diantarkan ke dalam bus.
“Saya membayangkan jika yang ingin berhaji ini orang tua atau saudara saya, pasti akan senang kalau ditolong. Ya, semoga mereka semua menjadi haji yang mabrur,” kata Artanto.
Ya Allah, jadikanlah semua jamaah haji Indonesia meraih kemabruran dalam berhaji.