Oleh: Wartawan Republika, Ratna Puspita
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Sebagian besar pohon yang ditanam dikenal dengan nama Pohon Sukarno. Konon, ini sebagai penghargaan terhadap Presiden Sukarno yang menggagas penghijauan di Padang Arafah. Pohon Sukarno merupakan pohon mimba yang tahan hidup di daerah tandus dan kering.
Kendati banyak pohon, nyaris tidak ada angin di Padang Arafah. Tidak banyak gerakan dari pohon-pohon yang memenuhi Padang Arafah. Tanpa angin, panas dari matahari yang berada di atas kepala pun semakin terasa menyengat. Keringat pun bercucuran ketika kami melihat fasilitas jamaah haji reguler ketika berada di Arafah.
Tiang-tiang tenda tampak mulai berdiri di lahan yang sudah dikavling-kavling. Air cooler yang berfungsi sebagai penyejuk ditempatkan di dekat tiang-tiang tenda. Begitu pula dengan kain putih yang bakal menjadi tenda. Karpet-karpet tebal masih tergulung dan terbungkus dalam plastik ditumpuk di sisi lain.
Setelah melihat tempat untuk jamaah haji reguler, Lukman mengajak kami melihat tenda-tenda untuk jamaah haji khusus. Kami pun disuguhkan dengan fasilitas yang sangat berbeda. Tenda-tenda jamaah haji reguler terbuat dari kain tebal, sedangkan tenda-tenda untuk jamaah haji khusus terbuat dari terpal tebal.
Tenda-tenda untuk jamaah haji khusus juga berdiri dengan dengan kokoh. Tenda sangat tertutup dari udara di luar. Hanya ada dua lubang di dua sisi pintu masuk untuk memastikan ada cahaya ke dalam tenda.
Fasilitas di dalam tenda juga sangat berbeda. Lantai tenda tidak hanya ditutupi karpet, namun juga kasur yang dapat diubah menjadi sofa. Penyejuk ruangannya juga bukan berupa air cooler, namun pendingin ruangan atau air conditioner.
Sebelum meninggalkan Arafah, saya mencoba memejamkan mata dan merasakan panas matahari di atas Padang Arafah. Saya bisa merasakan keringat mengalir di punggung. Panas menembus jilbab hitam saya di bagian tengkuk. Pipi saya terasa hangat dari embusan udara yang keluar dari hidung saya pun terasa panas di pipi.
Saat itu jam masih menunjukkan 11.00 WAS, nyaris tengah hari. Nyaris berarti panas matahari belum berada pada puncaknya. Saya mengecek aplikasi temperatur di telepon seluler. Angkanya menunjukkan 36 derajat celcius dengan real feel 43 derajat celcius.
Suhu ketika prosesi wukuf mungkin lebih tinggi dari ini. Ketika puncah ibadah haji itu, saya dan seluruh jamaah haji akan berada lebih lama di Padang Arafah. Keringat mungkin akan lebih deras mengucur. Saya pun berpikir apakah ketika itu fasilitas yang mewah dan kenyamanan masih lebih penting?
Suara helikopter yang terbang rendah membuyarkan momen saya menikmati suasana panas di Arafah. Saya langsung menengadahkan pandangan ke atas dan melihat sembilan helikopter terbang rendah di atas Arafah. Helikopter itu wara-wari hingga akhirnya menghilang ketika kendaraan yang mengangkut meninggalkan Arafah.